Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono VIII


Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Dibanding dengan tokoh dari dinasti Mataram yang lain, nama Sultan Hamengku Buwono ke VIII memang kurang terasa bergaung di nusantara ini. Bahkan bagi masyarakat yang tinggal di Yogyakarta sekalipun. Popularitas Sultan HB VIII memang tidak seperti Panembahan Senapati, Sultan Agung, Pangeran Mangkubumi ( Sultan Hamengkubuwono I ), Pangeran Diponegoro dan Sultan Hamengkubuwono IX. 

Namun, jika kita mau mencermati sejarah Yogyakarta menjelang masa-masa terakhir penjajahan Belanda di Nusantara ini, peran HB VIII laksana sepercik api lentera di kegelapan malam yang bias cahayanya mampu menembus dinding siti hinggil dan benteng keraton hingga menjangkau sudut - sudut dunia. Visi global telah berkembang di lingkungan istana Mataram meski tanpa perumusan yang rumit, yang memusingkan kepala.

Sultan HB VIII yang saat itu masih berkedudukan sebagai putra mahkota sadar betul akan perlunya pendidikan bagi putra-putranya dalam rangka menghadapi perkembangan dan perubahan zaman. Persiapan awal untuk membuktikan keyakinannya dilakukan dengan tindakan yang mengejutkan banyak pihak.KRAy. Adipati Anom, sang permaisuri, dikebonke (dipindahkan keluar keraton) dengan alasan yang tidak diketahui oleh kerabat kraton, tetapi kedudukan sebagai garwa padmi tak pernah dicabut, bahkan segala atribut berupa pakaian dan payung kebesaran seorang permaisuri tetap disertakan. 

Langkah kontroversi sang putra mahkota itu tidak berhenti, Dorodjatun, putranya yang masih berusia 4 tahun pun segera 'disingkirkan' dari kraton untuk kost pada keluarga Belanda. Di sini, pangeran kecil itu dibiasakan hidup mandiri, jauh dari sikap manja dan bermalas-malas, adanya hanya disiplin, kerja keras dan spartan.

Rupanya calon Sultan Yogya itu sadar benar bahwa orang yang telanjur kalingan suka, ilang prayitnane (terbuai oleh kesenangan, akan hilang kewaspadaan). Itulah sebabnya, Sultan HB VIII sengaja memisahkan kost putra - putranya dan tidak menyertakan inang - pengasuh ataupun abdi panakawan untuk menemani putrandanya yang sedang kost, meski kenyataannya Dorodjatun sering menangis saat akan kembali ke kost sehabis berlibur di keraton.

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (Kraton Yogyakarta Adiningrat, 3 Maret 1880 – Kraton Yogyakarta Adiningrat, 22 Oktober 1939) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kesultanan Yogyakarta. Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada tanngal 8 Februari 1921. 

Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah - sekolah kesultanan. Putra - putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. 

Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas Leiden. Pesan yang sangat bermakna dari Sultan HB VIII adalah saat Dorodjatun akan ke Holland bersama kakaknya, BRM Tinggarto ( nama kecil GBPH Prabuningrat ) untuk kuliah di Universitas Leiden: "Selama di Negeri Belanda, buka pintu hatimu seluas-luasnya. Berupayalah agar kau benar - benar menyelami sifat - sifat orang Belanda, karena di masa depan kau selalu akan berurusan dengan mereka".

Sejarah membuktikan bahwa buah pendidikan Sultan HB VIII mulai tampak pada pribadi Dorodjatun saat dirinya akan dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono IX. Pembahasan kontrak politik dengan ahli diplomasi Belanda, Dr Lucien Adams, harus ia jalani secara maraton selama empat bulan berturut-turut tanpa membuahkan kesepakatan. 

Ia memang harus benar-benar teliti dan hati - hati, karena jika salah langkah, implikasinya akan sangat berat, karena menyangkut nasib rakyat negeri Mataram, Yogyakarta. Sejarah membuktikan bahwa buah pendidikan Sultan HB VIII mulai tampak pada pribadi Dorodjatun saat dirinya akan dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono IX. 

Pembahasan kontrak politik dengan ahli diplomasi Belanda, Dr Lucien Adams, harus ia jalani secara maraton selama empat bulan berturut - turut tanpa membuahkan kesepakatan. Ia memang harus benar-benar teliti dan hati - hati, karena jika salah langkah, implikasinya akan sangat berat, karena menyangkut nasib rakyat negeri Mataram, Yogyakarta.

Sikap patriotis seorang ksatria Mataram hasil didikan Sultan HB VIII benar - benar mengagumkan dan membanggakan. Setelah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, keraton yang dicurigai sebagai pusat gerilya dikepung tentara Belanda di bawah pimpinan Kolonel Van Langen dan ajudannya Kapten De Jonge dengan pasukan tank dan panser yang moncongnya mengarah ke gerbang Keben (Kemandungan Lor). 

Sultan HB IX yang juga menyandang gelar Mayor Jenderal Tituler dari negeri Belanda itu menghalau dengan kata yang tegas dan penuh wibawa: "Kalau tuan - tuan ingin memperlakukan (mengobrak - abrik) Keraton seperti Kepatihan, lebih baik bunuhlah saya".

Di era awal kemerdekaan Indonesia, Sultan Hamengku Buwono IX dengan jiwa besarnya telah menolak kedudukan Wali Negara sebagaimana yang ditawarkan Belanda. Suatu keputusan untuk 'mengasuh' Indonesia yang masih 'bayi' dengan segala risiko itu justru dipilihnya. Perannya sebagai 'Proklamator ke-2' saat Soekarno - Hatta sedang menyingkir ke Bukittinggi, menjadi bukti bahwa Sultan HB IX adalah benar - benar patriot sejati, benteng terakhir negeri ini.

Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri ( berada tepat di selatan Alun - alun utara Yogyakarta ). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe. Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di RS Panti Rapih Yogyakarta karena menderita sakit.


Sumber : www.belantaraindonesia.org
Diposkan oleh : http://kusumanugraha.blogspot.com/

0 komentar:

Leave a Comment

Jangan lupa beri komentar ya..