Perjalanan SRI Sultan Hamangkubuwono IX (Buku)


Judul Buku     : Hamangkubuwono IX
Penulis            : K. Tino
Penerbit         : Navila Idea
Cetakan          : I, 2011
Tebal              : 198 Halaman
Peresensi       : Romel Masykuri*

Peranan Hamangkubuwono IX dalam Serangan Umum 1 Maret sudah banyak diketahui. Pun, perlawanannya terhadap Suharto ketika menjadi Wakil Presiden sudah banyak diuraikan. Namun peranan Hamangkobuwono IX sebagai agen CIA masih misteri, dan seringkali menjadi desas-desus semata. Konon ada tiga tokoh yang disebut-sebut sebagai agen CIA untuk menghancurkan PKI. Mereka adalah Suharto, Adam Malik dan Hamangkubuwono IX. Baik Suharto dan Adam Malik sudah banyak dikupas oleh para ahli sejarah. Akan tetapi, buku yang mengupas keterlibatan Hamangkubuwono IX masih belum ada.

Buku ini mencoba menelusuri semua misteri dan desah-desus itu, mulai dari pengumpulan data-data yang membuktikan tidaknya Hamangkubuwono IX sebagai agen resmi CIA. Kita akan terperangah dengan penemuan-penemuan yang ada di dalamnya. Satu titik sejarah negeri ini akan terurai dengan gamplang.

Pada bagian pertama buku ini menceritkan tentang masa muda Hamangkubuwono IX dan posisi penting yang di lakukan oleh Hamangkubuwono di masa awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). SRI Sultan Hamangkubuwono IX lahir di Sompilan Ngasem, Yogyakarta, 12 April 1912 dan meninggal di Washington, DC, Amerika Serikat, 2 Oktober 1988 pada umur 76 tahun. Ia adalah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur DIY. Tahun 1973-1978 ia pernah menjadi Wakil Presiden Indonesia, lebih dari itu ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Masa awal kemerdekaan Indonesia ia merupakan tokoh yang cukup berperan dalam fase Indonesia berkembang dan upaya menghapus puing-pung kolonialisme. Salah satu bukti sejarah yang tidak bisa di lupakan adalah masa di mana awal kemerdekaan Indonesia ditandai dengan suasana mencekam yang disebabkan keganasan NICA (Belanda). Pada bulan Oktober, November dan Desember 1945, Jakarta menjadi ajang kekerasan dan teror sehingga menyebabkan penduduk menutup pintu sejak senja hari. Tentara NICA melakukan provokasi dan memancing insiden dimana-dimana sehingga ribuan warga tak berosa menjadi korban.

Pada saat kondisi Ibu Kota Jakarta sedang tidak aman dan penuh konflik, maka sultan HB IX meminta agar Sukarno-Hatta dan seluruh pemimpin Republik pindah ke Yogyakarta, dengan pertimbangan Belanda lewat NICA sudah membonceng Sekutu dan akan menjadikan Jakarta sebagai pusat pertempuran. Dan memang betul prediksi dan nalar pemikiran HB IX tidak meleset, garis Jakarta-Bandung merupakan pusat kekuatan militer NICA, apalagi di Jakarta ada Batalyon X yang terkenal kejam. Akhirya, tanggal 3 Januari 1946 diambil keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta. Saking baiknya Sultan demi pengorbanan bagi ibu pertiwi, seluruh pembiayaan para  Penggede RI ditanggung sepenuhnya oleh pihak kesultanan. Sungguh pemimpin arif nan bijaksana.

 Berbeda lagi peran HB IX pada masa Orde Baru. Setelah keluarnya Surat Perintah 11 maret 1966 (Supersemer) yang kemudian dikukuhkan oleh ketetapan MPRRS No. IX/MPRS/1966, maka Indonesia memasuki zaman baru. Kepemimpinan Presiden Sukarno beralih ke triumvirat (Tiga Serangkai) yakni Suharto, Adam Malik, dan Sultan HB IX yang kesemuanya pro Amerika. Kepemimpinan mereka menghadapi berbagai permasalahan yang berat, khsusnya di bidang ekonomi. Angka inflasi sudah mencapai 600 persen dan sudah mengarah pada Hiper-inflasi.

Kemerosotan ekonomi Indonesia tersebut disebabkan pengelolaan ekonomi yang kurang berhasil, seperti tidak ada kemantapan hasil ekspor dan adanya fluktuasi harga di pasaran bagi bahan mentah Indonesia serta seretnya pemasukan pajak. Selain itu, Indonesia harus membayar utang luar negeri sebesar 2,6 miliyar doalr Amerika (termasuk utang warisan Belanda dari tahun 1896-1949). Disinilah peran Sultan HB IX berperan pada saat Indonesia berada dalam ke krisisisan. Sebagai Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Kabinet Ampera, Sultan HB IX telah meletakkan rumusan dasar bagi program rehabilitasi dan stabilitasi Orde Baru dalam bidang ekonomi, moneter dan infrastruktur.

Program kerja yang dilakukan oleh Sultanpun mulai terasa dan memberikan pemulihan bagi Orde baru secara perlahan-lahan, mulai dari kembalinya kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia, mengatur kembali perrundingan dengan negara pemberi pinjaman di masa lalu guna mengatur jadwal pembayarannya. Dalam usaha ini, HB IX juga bertindak aktif dengan mengadakan perjalanan ke mana-mana, seperti menghadiri pertemuan luar negeri yang orientasinya untuk menarik penanaman odal asing dan investasi  di Indonesia.

Berbagi rintisan perbaikan ekonomi pada masa awal Orde baru (1966-1968) di mana Sultan HB IX memegang peranan utama telah banyak membuahkan hasil. Bantuan dari luar negeri mengalir dari berbagai penjuru dalam bentuk bantuan kredit devisa, bantuan pangan, bantuan teknik dan proyek dan melaksanakan pembangunan di Indonesia. Namun di balik keberhasilan Sultan HB IX dalam menarik modal asing juga memicu eksploitasi sumber daya alam Indonesia oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional yanng dikendalikan oleh Amerika. Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, kemudian hasil tangkapannya dibagi. The Time Life Corporation mensponsori konfrensi istimiwa di Jenawa yang dalam waktu tiga hari  merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti david Rockefeller.

Singkat kata, buku ini telah berhasil menberikan fakta-fakta sejarah langka tentang peran penting Sri Sultan Hamangkubuwono IX dalam pemerintahan Indonesia masa awal kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru, baik perannya di wilayah ekonomi, politik dan kemasyarakatan.

*)Romel Masykuri, Kader Muda Ashram Bangsa Jogjakarta 

Diambil dari www.kompas.com 
(http://oase.kompas.com/read/2011/06/18/13455342/Perjalanan.SRI.Sultan.Hamangkubuwono.IX)

Pemikiran Raja Yogyakarta (Dalam Kebutaan Pemerintah)



Raja yang dikenal dekat dengan rakyatnya. Menurutnya, keberpihakan pada rakyat itu harus dilakukan sebagai suatu panggilan. Raja yang demokrat ini berperan penting dalam bergulirnya reformasi dengan deklarasi Ciganjur bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais. Namun, ia kini gelisah melihat petinggi negeri ini yang tidak bersikap kesatria mau mengakui kesalahan jika memang bersalah. Priyai agung yang merakyat ini menjadi salah seorang kandidat Presiden pada Pemilu 2004.

Lahir dengan nama Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito pada tanggal 2 April 1946. Setelah dewasa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram. Lulusan Fakultas Hukum UGM ini dinobatkan sebagai raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) mengantikan ayahnya, Sri Sultan HB IX yang meninggal di Amerika, Oktober 1988. Kemudian menjabat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak 3 Oktober 1998.

Aktif dalam berbagai organisasi yaitu ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1996 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY.

Jika singgah di Jogjakarta, barangkali akan mengunjungi Malioboro, yang menyuguhkan hidangan khas daerah itu. Namun, persinggahan akan terasa belum pas jika tidak melangkahkan kaki ke Keraton Jogjakarta, kurang lebih lima ratus meter ke arah selatan Malioboro. Sekilas, Keraton Jogjakarta memang tampak “angker”. Betapa tidak! Di pelatarannya terdapat dua beringin nan rimbun berpargar (ringin kurung). Sedangkan di pelataran belakang, juga tampak dua beringin yang menjulang tinggi. Konon, beringin itu menjadi “simbol” kebesaran Keraton.

Keraton Jogjakarta memang menyimpan beragam kebesaran sejarah. Di masa kolonial, Keraton pernah menjadi benteng pertahanan dari penjajahan Belanda. Pada masa revolusi, keraton juga menjadi “Istana Presiden”, tatkala Jogjakarta sempat menjadi ibu kota Republik Indonesia. Bahkan, ketika maraknya demontrasi mahasiswa menyerukan Presiden Seoharto lengser keprabon, keraton kembali menjadi ajang bagi mahasiswa dan masyarakat Jogja untuk menggelar pisowanan ageng (“apel akbar”) mendukung gerakan reformasi guna memperkuat kepemimpinan nasional yang sungguh-sungguh memihak rakyat.

Kini, di balik kebesaran keraton itu, terdapat tokoh sentral yang menjadi “decesion maker”-nya: Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ia lahir dan dibesarkan di lingkungan keluraga yang sarat keberpihakannya kepada rakyat. Bahkan di kalangan masyarakat Jogja, tokoh ini pun dipuja sekaligus “disembah”.

Sejak menggantikan ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal di Amerika, 8 Oktober 1988, Ngersa Dalem, demikian ia biasa disapa, dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyatnya.

Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat itu tetap harus dilakukan sebagai suatu panggilan. “Saya harus membentuk jati diri untuk tumbuh dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Selain itu, masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah saya dalam membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat bener atau tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya”, ujuarnya.

Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998, ketika gelombang demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan mengatakan, “Saya siap turun ke jalan”. Ia benar-benar tampil dan berpidato di berbagai tempat menyuarakan pembelaan pada rakyat, sambil berpesan “Jogja harus menjadi pelopor gerakan reformasi secara damai, tanpa kekerasan”.

Aksi turun ke jalan yang dilakukan Sri Sultan HB X itu bukan tanpa alasan. “Jika pemimpin tidak benar, kewajiban saya untuk mengingatkan. Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya tak pasani sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh)”, katanya.

Puasa itu dimulai 19 April dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam VIII tampil bersama menyuarakan “Maklumat Yogyakarta”, yang mendukung gerakan reformasi total dan damai. Itu yang dia sebut ngelakoni. Pada akhir puasa, ia mengaku mendapat isyarat kultural “Soeharto jatuh, manakala omah tawon sekembaran dirubung laron sak pirang-pirang” (sepasang sarang tawon dikerumuni kelekatu dalam jumlah sangat banyak).

“Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung gerakan itu dengan laku kultural. Itu maksud saya”. Memang, sehari setelah banjir massa yang jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta manusia di Alun-alun Utara Jogjakarta—mengikuti Aksi Reformasi Damai dengan mengerumuni sepasang berigin berpagar (ringin kurung)—Soeharto pun lengser.

Sri Sultan HB X dengan Keraton Jogjakarta-nya memang fenomenal. Kedekatannya dengan rakyat, dan karena itu juga kepercayaan rakyat terhadapnya, telah menjadi ciri khas yang mewarisi hingga kini. Lihat saja, misalnya, pada 20 Mei 1998, di bawah reksa Sultan, aparat keamanan berani melepas mahasiswa ke alun-alun utara. Sebelum itu hampir setiap hari mahasiswa bersitegang melawan aparat keamanan untuk keluar dari kampus.

Di pagi hari yang cerah di hari peringatan Kebangkitan Nasional 1998 itu, mahasiswa berbaris dengan amat tertib menyuarakan “mantra” sakti reformasi menuju Alun-alun Utara. Mereka pergi untuk mendengarkan maklumat yang akan dibacakan sebagai semacam pernyataan politik Sri Sultan.

Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan Hamengku Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi mereka berempat sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan melebihi legitimasi yang dimiliki lembaga formal seperti DPR. Mereka berempat adalah deklarator Ciganjur, yang lahir justru ketika MPR sedang melakukan bersidang. Mereka berempat, plus Nurcholis Madjid dan beberapa tokoh nasional lain, diundang Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk ikut mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan di Ambon.

Namun, selang beberapa tahun kemudian, keempat tokoh Ciganjur itu “pecah” dan tampak berjalan sendiri-sendiri. Bahkan salah satu di antaranya saling hujat-menghujat. Kondisi ini sempat menimbulkan gejolak politik di tanah air. Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dikenal “netral” di antara berbagai kepentingan partai politik dan pemerintah, akhirnya mempertemukan tokoh-tokoh Ciganjur itu, plus Akbar Tanjung, pada 1 Agustus 2000 di Keraton Jogjakarta.
Menghadapi gejolak reformasi, Sultan memang menyikapinya tidak hanya dengan pemikiran, pendirian, dan tindakan politik, tetapi juga dengan laku kultural. “Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung gerakan itu (reformasi) dengan laku kultural”, katanya.

Laku kultural perlu untuk melengkapi pertimbangan dan tindakan rasional. Dengan laku kultural, bukan hanya pikiran tapi hati akan ditajamkan, sehingga hati itu bisa mengajari kita untuk menangkap sasmita (gegulang sasmitarja), dan memberitahu kita, bahwa budi kita juga mengandung pekerja kewaspadaan (jero budi ana surti), agar kita hidup berhati-hati.
Justru di situlah sumbangan Sri Sultan secara khas pada reformasi. Dengan pandangan kulturalnya, ia dibantu untuk melihat bahwa reformasi bukan sekadar memperjuangkan kebebasan untuk bisa sebebas-bebasnya, tetapi mentautkan kebebasan itu dengan kehati-hatian dan kewaspadaan, agar masyarakat yang ada juga berkat ikatan-ikatan kultural-tradisional tidak begitu saja diporakporandakan.

Sejak terpilih sebagai Gubernur DIY pada 3 Oktober 1998, Sri Sultan memang dikenal sebagai sosok yang “netral” di antara berbagai kepentingan partai politk dan pemerintah. Karenaya, Sultan banyak diundang dalam seminar-seminar untuk membeberkan wawasan kebangsaannya.
Dalam suatu kesempatan, Sultan pernah mengatakan, wawasan kebangsaan masa depan seharusnya merupakan pandangan proaktif untuk membangun bangsa menuju perwujudan cita-cita bersama sebagai suatu bangsa yang mandiri dan mampu mengembangkan inovasi iptek bangsa sendiri, agar memiliki keungulan daya saing yang tangguh di percarutan global. “Itulah sebagian wawasan kebangsaan beserta nilai-nilai kebangsaan yang ditemukan dan pantas dikembangkan di dalam Gerakan Mahasiswa sebagai pengikat semangat kebersamaan ke depan”, katanya.

Namun, pemahaman tentang kebangsaan itu memang banyak hal yang perlu dipertanyakan: apakah suatu kebijakan dan program dapat dikatakan berwawasan kebangsaan atau tidak; Atau apakah setiap kelompok masyarakat dan organisasi, berikut partai-partai baru, telah berwawasan kebangsaan atau tidak. Dengan penghayatan paham kebangsaan yang seperti itu, menurutnya, kita dapat mendukung penataan organisasi-organisasi sosial politk, yang terbuka dan bersifat inklusif bagi seluruh warga negara.

Karena itu, Sultan menyarankan, untuk memantapkan rasa kebangsaan pada seluruh bangsa haruslah menyentuh rasa keadilan, agar dapat terbentuk rasa kebersamaan yang bulat. Dalam rangka itu, aktualisasinya adalah bahwa berbagai kesenjangan harus dipersempit, bahkan sedapat mungkin ditiadakan. “Kita melihat ada beberapa macam kesenjangan; kesenjangan antardaerah, antarsektor dan antargolongan ekonomi, termasuk di dalamnya kesenjangan dalam kesempatan berusaha”, tuturnya.

Dalam memasuki abad ke-21 di Era Globalisais yang ditandai oleh kompetensi antarbangsa yang semakin ketat ini, agar kita mampu bertahan, maka kesadaran terhadap wawasan kebangsaan dengan jiwa-semangat dan muatan roh baru yang lebih sesuai dengan tantangan zaman harus kita kembangkan serta tetap menjadi tekad dan komitmen total seluruh rakyat dan bangsa.
Menurut Sultan, wawasan dan rasa kebangsaan yang melahirkan nasionalisme baru sebagai agenda juang bangsa Indonesia bukan lagi diikrarkan dengan sumpah mati atau melulu hanya berunjuk rasa. Akan tetapi, jiwa-semangat nasionalisme baru masa kini adalah bagaimana kita dapat mengejar ketertinggalan di bidang iptek serta memberikan makna dan manfaatnya bagi kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.

Disatu sisi kita harus meningkatkan kemampuan kualitatif dalam semua aspek kehidupan, dan disisi lain, mempertahankan jati-diri dan mengangkat harkat serta martabat kemanusiaan Indonesia dalam pergaulan dunia. “Untuk itu, agenda juang Nasionalisme Baru Bangsa Indonesia haruslah arif dan cerdas dalam menangkap peluang serta memanfaatkan momentum transformasi global dan reformasi nasional dengan mengkaitkan dimensi iptek, politik, ekonomi dan budaya satu sama lain dalam padanan yang seimbang”, ujarnya.

Budaya Kuasa

Secara verbal, masyarakat Indonesia dididik untuk bersikap kesatria, mengakui salah jika memang bersalah. Tetapi, ketika pembantu-pembantu presiden yang jelas-jelas bersalah dan kesalahan itu telah diketahui publik, ternyata tidak satu pun di antara mereka yang dengan rendah hati berani mengakuinya serta meminta maaf. Apalagi mengundurkan diri dengan sukarela sebagai rasa tanggung jawab moral kepada publik. Sultan Hamengku Buwono (HB) X, mengemukakan hal itu dalam pidato kebudayaan untuk memperingati 34 tahun Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) di PKJ-TIM, Selasa (5/11/02).

Bahkan, para pembantu presiden yang salah itu, pada kenyataannya dilindungi. Tidak jarang mereka justru malah balik menantang publik dengan berkata, 'Silakan buktikan kalau saya bersalah'. Ini semua justru menunjukkan, bukan nilai tepa sarira (tenggang rasa yang mereka anut, tetapi lebih menonjolkan sikap nanding sarira (membanding-bandingkan), berbasis egoisme sapa sira sapa ingsun (siapa kamu, siapa saya), serta menunjukkan sikap budaya kuasa," kata HB X yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Dalam kaitan itu, HB X dalam pidato bertajuk "Meluruskan Kembali Makna Nilai-nilai Budaya Jawa" menegaskan bahwa kenyataan semacam itu telah menjadikan tidak tumbuhnya budaya mundur di kalangan pejabat Indonesia. Padahal, mereka nyata-nyata secara etis bersalah dan kesalahannya juga sudah menjadi rahasia umum.

Kenyataan tersebut pada gilirannya akan semakin melumpuhkan kekuatan dan supremasi hukum. "Sangat terasa, tata krama politik kita lebih bersifat hierarkis-struktural ketimbang kultural. Semangat tepa sarira malahan disalahartikan untuk juga tepa sarira terhadap pejabat yang melakukan penyelewengan."

Mengatur kultur
HB X yang pada kesempatan itu menyatakan dirinya tampil sebagai seorang budayawan dari Keraton Yogyakarta, kemudian mengutip sebuah teori yang mengatakan, siapa menguasai struktur ia mengatur kultur.

Oleh karena itu, HB X mengingatkan, "Selama ini kita telah tercebur ke dalam lumpur konformisme budaya melalui eksploitasi simbol-simbol budaya Jawa yang salah kaprah. Ini semua membawa akibat terjadinya monopoli kebenaran. Apa yang sudah kaprah atau terbiasa, tafsir yang 'salah' pun menjadi lazim dan tanpa sadar justru dibenarkan. Maka, jadilah budaya Jawa yang salah kaprah itu menyelinap ke segenap kehidupan bangsa."

Ajaran Jawa mikul dhuwur mendhem jero, misalnya, makna sesungguhnya adalah menghormati leluhur, terlebih kepada orangtua yang telah meninggal dengan cara tidak mengungkit kesalahan, namun mengingat kebaikan. "(Sekarang-Red) Mikul dhuwur mendhem jero jadi salah kaprah, dikenakan bagi orang yang masih hidup, khususnya pemimpin. Kalaupun dia melakukan tindak penyelewengan, hendaknya dimaafkan dan dilupakan," katanya.

HB X juga mengatakan, dalam peta politik nasional, alam pikiran Jawa pernah dominan. Kebudayaan Jawa menjadi pola bagi seluruh rangkaian kehidupan berbangsa dan bernegara. Dominasi itu misalnya terlihat dalam kosa kata bahasa Jawa. Menyitir pendapat budayawan Franz Magnis-Suseno, HB X mengatakan, pengaruh jawanisasi begitu kuat hingga menimbulkan "Jawanisasi tata krama komunikasi nasional."

Ia menambahkan, pembangunan yang mengenyampingkan dimensi kebudayaan akan membawa masyarakat pada tiga kesalahpahaman umum, yakni tidak mengetahui, salah asumsi, dan salah penerapan. Sebagai akibat tidak mengetahui secara tepat pemaknaannya, pembangunan menjadi tidak tepat sasaran, bahkan cenderung terbalik.

Di sisi lain, HB X melihat, pada masa Orde Baru ada sebuah fenomena menarik, karena secara bersamaan juga bisa disaksikan kultur masyarakat tidak sepenuhnya berada dalam cengkeraman struktur kekuasaan. "Terdapat benih-benih reformasi dalam bentuk perlawanan budaya, oleh karena budaya juga merupakan kekuatan sejarah," katanya.

Perlawanan semacam itu muncul dari sebagian budayawan, seniman, dan ulama yang menitikberatkan pada dimensi kultural-spiritual. Seiring dengan ini, juga muncul perlawanan intelektual-realistik dari segolongan cendekiawan dan mahasiswa yang ditunjukkan pada pembenahan aspek struktural. Gerakan-gerakan tersebut di permukaan merupakan gerakan kultural-spiritual, tetapi jangkauannya adalah gerakan sosial. Mengutip pendapat Dr Kuntowijoyo, HB X menyebutkan, "Mereka berangkat dari perubahan cara berpikir, tetapi tujuannya ialah perubahan perilaku...."

Perlu "counter culture"
Agenda yang sekarang ini sangat mendesak adalah perlunya untuk membentuk counter culture, yang mirip renaisans budaya-kebangunan kembali kebudayaan. Gerakannya berupa pemurnian makna terhadap idiom-idiom budaya Jawa yang selama ini telah cenderung dimanipulasi-tafsirkan, dan telah melekat menjadi wacana politik dan budaya politik.

HB X mengakui, generasi yang lahir di zaman informasi pasti kurang mengenal kitab-kitab kuno, semisal Babad Tanah Jawi, Wulangreh, dan Wedhatama. "Jujur saja, banyak di antara kita yang juga kurang paham tentang apa yang dimaksud dengan lengser keprabon madeg pandhita serta idiom-idiom dengan sederet manipulasi makna, atau setidaknya interpretasi subyektif terhadap simbol-simbol budaya Jawa yang selama ini telah meresap menjadi semacam budaya politik bangsa."

Proses tersebut telah berlangsung lama dan terkait langsung dengan sistem kekuasaan yang sentralistik di Jawa sehingga persoalan birokrasi dan kebijakan pemerintahan daerah selalu diproses di pusat. Akibatnya, pendistribusian pegawai atau pejabat ke daerah, terutama pada bidang-bidang strategis, lebih banyak ditempati orang-orang Jakarta.

Atas dasar itu, kata HB X, untuk masa mendatang, menghargai dan memperhatikan pluralisme budaya yang kita miliki serta membangkitkan kembali identitas lokal merupakan keharusan strategis untuk kesatuan nasional Indonesia, terutama di era otonomai daerah.

Gelar Sasangko Minangkabau
Sultan Hamengku Buwono X dan Ratu Hemas dari Ngayogyakarta Hadinigrat, resmi menjadi mamak orang Minang. Dalam suatu Sidang Majelis Adat di Istano Pagaruyuang, Batusangkar, Kabupaten Tanahdatar, Senin (29/4), mereka dianugerahi gelar kehormatan Sangsako Adat Minangkabau dari pewaris kerajaan Pagaruyuang, yang ditandai dengan pemasangan destar dan keris kepada Sultan dan pemasangan takuluak bapalak dan selendang tanah liek kepada Ratu Hemas.

Sultan bergelar Yang Dipatuan Maharajo Alam Sati (atau dalam bahasa Indonesia Yang Dipertuan Maharaja Alam Sakti) dan Ratu Hemas bergelar Puan Gadih Puti Reno Indaswari (Puan Gadis Putri Reno Inderaswari). Ia disebut seorang sultan yang rendah hati, pengayom bagi masyarakat secara keseluruhan dan masyarakat Minang khususnya.

Ketua Umum Kerapatan Adat Alam Minangkabau H Kamardi Rais Datuk P Simulie dalam sambutannya mengatakan, pengangkatan Sultan Hamengku Buwono Yang Dipatuan Maharajo Alam Sati sebagai mamak orang Minang di Yogyakarta, karena antara Yogyakarta dan Bukittinggi (Sumatera Barat) terdapat persamaan sejarah, mengambil peran yang sama sebagai ibu kota negara Indonesia dalam keadaan darurat.

"Ketika Belanda melakukan serangan besar-besaran terhadap Maguwo, pada waktu subuh 19 Desember 1948 dan kemudian Yogya diduduki, maka pada saat yang genting itu Bukittinggi tampil menggantikan peranan Yogyakarta," katanya.
Kemudian, ketika terbentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), 14 Desember 1949, maka Yogyakarta dan Sumatera Barat sama-sama berteguh hati tetap berada dalam Republik Indonesia, ditambah dengan daerah Tapanuli dan Aceh.

Makna Keraton di Tengah Reformasi
Ribuan umat Islam Minggu malam (20/8/02) memadati Pagelaran Keraton Yogyakarta dalam rangka Peringatan 254 Tahun Hadeging Nagari Ngayogyakarta. Mereka semua memanjatkan doa agar Keraton di bawah Sultan Hamengku Buwono X tetap lestari dan mampu mengajak masyarakat untuk terus berkembang maju, mandiri dan ber-akhlakul karimah.

Acara Majelis Tasyakuran, Mujahadah Akbar dan Sema'an Al Qur'an juga dihadiri GBPH Joyokusumo, jajaran Muspida Provinsi DI Yogyakarta dan anggota DPRD DIY serta alim ulama se-Jawa, Lampung dan NTB. Sultan sendiri tidak hadir karena ada acara di Solo dan sambutannya dibacakan oleh permaisurinya, GKR Hemas.

Menurut Sultan, dalam konteks reformasi sat ini, Keraton Yogyakarta harus mampu mereposisi diri dengan cara introspeksi. Hal itu perlu dilakukan, melalui proses kreatif, jika tidak perjalanan kebudayaan akan mati.

Sebenarnya hal itu sudah lama mengusik pikiran Sultan adakah arti dan makna sebuah keraton di tengah-tengah arus reformasi? Keberadaan Keraton Yogyakarta adalah realitas historis yang memuat pesan kultural, berupa karya nyata dan batiniah.

Melihat kenyataan ini, Sultan merasa prihatin. Bangsa yang selama ini dicitrakan sebagai bangsa yang religius, telah berubah menjadi bangsa yang mudah marah. Persoalan kecil selalu diselesaikan dengan kekerasan. Setiap lapisan masyarakat selalu menganggap diri benar dan tidak mau menerima perbedaan.

Kalau menurut versi panitia, angka 254 itu menunjuk hadeging nagari, berdirinya kerajaan. Bukan menunjuk pada kondisi fisik keraton tetapi sebuah wilayah kenegaraan, wilayah kekuasaan raja. Angka 254 itu mengacu pada perhitungan kalender Jawa yang berbeda dengan kalender Masehi. "Menurut hitungan tahun Jawa, saat ini (2001) baru menginjak tahun 1934, sehingga peringatan kali ini bertolak pada angka 1680 tahun Jawa -hadeging nagari Ngayogyakarta," demikian penjelasan Suhardi, staf Keraton Kilen Yogyakarta, Senin (20/8).

Pada masa itu Kerajaan Mataram masih bersatu dalam satu kerajaan di bawah Sri Sunan Paku Buwono II. Sampai pada tahun 1750, Pangeran Mangkubumi-kemudian HB I-sudah menguasai sebagian besar wilayah Mataram yang waktu itu dalam cengkeraman Kumpeni Belanda.
Lewat Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755, wilayah Mataram dibagi dua, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sebulan setelah pertemuan di Giyanti itu, 13 Maret 1755 atau 29 Jumadilawal be 1680 tahun Jawa, diumumkan berdirinya Negara Ngayogyakarta dengan kepala negara Sri Sultan Hamengku Buwono bergelar Senapati Ing Ngalogo Ngabdurrachman Sayidin Panatagama Kalifatulah I ing Ngayogyakarta.

Mbak Is, pemandu di Keraton Yogyakarta, menjelaskan, sebelum mendirikan bangunan keraton, Mangkubumi atau Sultan HB I mula-mula bertempat tinggal di Ambarketawang. "Ambarketawang letaknya di Desa Gamping sekitar empat kilometer barat Kota Yogyakarta, sebelah barat Kali Bedog. HB I masuk ke Ambarketawang 9 Oktober 1755 atau 3 Sura Wawu 1681. Di sana sampai sekarang masih ada sisa-sisa peninggalan keraton HB I," kata Mbak Is.
Dari sana Sultan mencari tanah yang cocok untuk menjadi ibu kota Ngayogyakarta. Pada akhirnya ditemukan Hutan Beringan di antara Kali Winongo dan Kali Code. Sultan pun pindah, menempati keraton barunya pada Kamis Pahing 13 Sura Jimakir 1682 atau 7 Oktober 1756.

Keberadaan (Keraton) Yogyakarta niscaya diawali dari seorang raja yang mempunyai wawasan dan kearifan yaitu Sultan HB I yang tak mau tunduk kepada Kumpeni. Mungkin tepat pula ujaran Sultan Hamengku Buwono X; Keraton Yogyakarta sekarang ini harus melakukan introspeksi terhadap keberadaannya agar selalu dapat menjawab tantangan zaman.

Bukan Pemerintahan Kerajaan
Penguasa Keraton Yogyakarta yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X menegaskan hadirnya undang-undang tentang keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bukan dalam rangka membentuk sebuah pemerintahan yang menuju pada pemerintahan Kerajaan atau Keraton.

Hal itu disampaikan Sultan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi DPRD DIY yang berlangsung di Gedung DPRD, Yogyakarta, Senin (9/9/02). Pasal 7 RUU itu intinya mengatakan, penyelenggaraan pemerintahan di DIY didasarkan pada prinsip penghormatan terhadap tradisi, nilai dan budaya yang sudah lama dipertahankan dan berkembang di DIY. Namun, provinsi ini merupakan sebuah Daerah Istimewa yang tunduk dan patuh pada prinsip penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tribulasi Takhta Kesultanan Mataram 1587-1757


Kesultanan Mataram didirikan oleh Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati pada tahun 1587. Sutawijaya sendiri memerintah hingga tahun 1601. Daerah kekuasaan kerajaan Mataram Islam ini mewarisi daerah kekuasaan Pajang yaitu sekitar Jawa Tengah.

Sesudah Sutawijaya meninggal kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati. Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak.


Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.


Mas Rangsang atau yang dikenal sebagai Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613. Pada masanya kekuasaan Mataram meluas hingga ke Jawa Timur dan Madura, bahkan Kesultanan Cirebon secara teratur memberikan upeti kepada Sultan Agung. Praktis pada tahun 1628 Mataram berkuasa hampir di seluruh Pulau Jawa kecuali Banten.


Pada tahun 1646, Sultan Agung wafat, kemudian ia digantikan oleh putranya, Amangkurat I. Di masanya, Amangkurat I terkenal sebagai salah satu Raja Jawa yang kejam. Pada waktu penobatannya ia melakukan tindakan membantai 3000 orang yang diperkirakan akan memberontak kepada dirinya. Kekejamannya membawa pemberontakkan Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo.


Tahun 1677, Amangkurat I wafat, ia digantikan oleh putranya Amangkurat II dan pada saat itu pemberontakkan Trunojoyo belum berakhir. Lalu ia meminta bantuan VOC untuk mengatasi masalah tersebut. VOC bersedia membuat perjanjian dengan Amangkurat II dengan kompensasi Amangkurat II harus menggati seluruh biaya perang, daerah VOC diperluas ke selatan hingga ke Samudera Hindia termasuk Semarang dan daerah sekitarnya harus diserahkan ke VOC. Pemberontakkan Trunojoyo pun akhirnya dapat dipadami.


Permasalahan lain yang timbul adalah Pangeran Puger, kakak dari Amangkurat II, juga mengklaim takhta Mataram dengan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sultan Mataram. Namun atas bantuan VOC Amangkurat II dengan Pangeran Puger berdamai. Pada masa ini ibukota Mataram pindah ke Kartasura.


Ketika Amangkurat II wafat pada tahun 1703 ia digantikan oleh Amangkurat III. Namun demikian Amangkurat III adalah seorang yang pendendam, ia dendam dengan Pangeran Puger yang telah mengkhianati ayahnya. Setelah penobatannya Amangkurat III melakukan penangkapan terhadap Pangeran Puger dan anak-anaknya, tetapi usahanya gagal. Keluarga Pangeran Puger dan anak-anaknya melarikan diri ke Semarang dan Banyumas.


Di Semarang Pangeran Puger bersekutu dengan VOC yang melindunginya akibat perjanjian yang dibuat tahun 1681, yaitu jika Pangeran Puger mengakui kedaulatan Mataram maka VOC akan melindunginya. Setelah menyusun kekuatannya Pangeran Puger dan VOC menyerang Kartasura. Tahun 1705 Kartasura jatuh ke tangan Pangeran Puger dan kemudian ia diangkat menjadi Raja Mataram dengan gelar Pakubuwono I.


Amangkurat III yang sempat melarikan diri keluar Kartasura akhirnya menyerah dan kemudian ia beserta keluarganya dibuang ke Srilangka.


Pakubuwono I wafat pada tahun 1719, kemudian ia digantikan oleh putra tertuanya Mangku Bumi dengan gelar Amangkurat IV. Ia memerintah tidak terlalu lama, pada tahun 1727 ia wafat dan digantikan oleh putranya yang baru berusia 16 tahun dan diberi gelar sebagai Pakubuwono II.


Di masa Pakubuwono II terjadi pembunuhan masal orang Cina oleh VOC akibat permasalahan migrasi orang-orang Cina ke Pulau Jawa khususnya di Batavia (peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama “Geger Pecinan”). Patih Natakusuma, salah seorang patih Kerajaan Mataram, diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan Cina, yaitu jika Cina berhasil mengalahkan VOC maka Cina akan mendapatkan seluruh pesisir utara Jawa dan keuntungannya.


Pakubuwono sendiri pun menghadapi situasi yang dilematis. Tahun 1741, ketika rakyatnya banyak yang memihak Cina, ia terikat perjanjian tidak tertulis dengan Batavia dalam memberantas huru-hara kaum Cina tersebut. Namun demikian suaranya tidak terlalu kuat berhadapan sebagian besar bangsawan yang menginginkan pertempuran dengan VOC.


Akhirnya pasukan Mataram bekerjasama dengan orang-orang Cina yang ingin balas dendam atas kejadian pembunuhan masal bergerak ke utara menyerang Semarang. Tercatat 20.000 pasukan Mataram ditambah 3.500 pasukan Cina terlibat dalam pertempuran tersebut.


Serangan ke Semarang gagal dan Pakubuwono II pun meminta maaf atas serangan tersebut ke VOC. Tetapi permintaan maaf Sultan dianggap oleh rakyat Kartasura sebagai pengkhianatan yang kemudian menyebabkan mereka melakukan kerusuhan dan pembakaran-pembakaran di Kartasura. Pakubuwono II pun akhirnya mundur ke Surakarta.


Sisa-sisa pendukung pemberontakan Cina yang masih tersisa adalah Raden Mas Said putra Arya Mangkunegara (Arya Mangkunegara kakak Pakubuwono II dari lain Ibu). Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah Sokawati untuk siapa saja yang berhasil merebut daerah itu dari tangan Mas Said.


Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II memenangkan sayembara itu tahun 1746. Ia dulu juga ikut mendukung pemberontakan Cina, namun kembali ke istana dan diterima Pakubuwana II. Saingan politiknya, yaitu Patih Pringgalaya membujuk raja supaya tidak menyerahkan hadiah sayembara tersebut.


Muncul pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta mendesak Pakubuwana II agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real tiap tahun. Pangeran Mangkubumi menentang hal itu. Terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.


Pangeran Mangkubumi sakit hati dan meninggalkan Surakarta untuk bergabung dengan Mas Said sejak Mei 1746. Mereka berdua mengambil Yogyakarta sebagai basis pemberontakkan mereka.


Tahun 1749 Pakubuwono II jatuh sakit, kemudian ia meminta Gubernur Semarang von Hohendorf untuk datang ke Surakarta. Kepada von Hohendorf, Pakubuwono II meminta VOC-lah yang menentukan nasib Mataram kemudian. Ia meninggal dunia pada bulan Desember 1749, kedudukannya kemudian digantikan oleh putranya setelah diatur oleh VOC agar tidak timbul kekacauan. Dan ia dinobatkan menjadi Pakubuwono III.


Namun demikian keesokkan harinya setelah VOC mengangkat putra Pakubowo II menjadi Pakubuwono III, Mangkubumi pun menobatkan dirinya sebagai Pakubuwono III. Sehingga ada dua Pakubuwono III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.


Perang untuk memadamkan pemberontakkan Mangkubumi kembali berlanjut. Terjadi pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Dan semenjak itu Mangkubumi dianggap sebagai pahlawan Mataram dan kemudian ia didukung oleh sebagian besar bangsawan dan masyarakat Mataram.


Akibat perang perebutan takhta Mataram yang melibatkan VOC yang tak kunjung selesai, Gubernur Jenderal Mossel mengangkat Hartingh sebagai Gubernur Semarang menggantikan van Hohendorf yang ditugasi untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan perundingan.


Perundingan alot dengan Hartingh akhirnya mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir yang disewa VOC seharga 20.000 real.


Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti (Giyanti adalah nama desa di sebelah timur Surakarta) yang mengakui kedaulatan Mangkubumi yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.


Akibat perjanjian itu Mas Said (yang terkenal dengan sebutan “Pangeran Sambernyowo”) merasa dilangkahi dan dikhianati oleh Mangkubumi maka kemudian ia terus melakukan pemberontakan dan pertempuran di daerah-daerah Mataram hingga Gunung Kidul.


Namun pada tahun 1757 karena jumlah pasukan dan perbekalannya yang menipis serta motivasi yang sudah jatuh ia menyerah namun dengan syarat ia meminta beberapa daerah yang menjadi haknya. Gubernur Hartingh yang sudah jenuh dengan pertempuran membujuk Pakubuwono III untuk menerima Mas Said.


Mas Said kemudian datang ke Salatiga dan berjanji akan setia kepada Pakubuwono III dan VOC. Dari perdamaian itu ia mendapatkan tanah sewa di selatan Surakarta, yaitu Wonogiri dan sekitarnya. Kemudian ia menamakan daerahnya sebagai Mangkunegaraan dan ia sendiri dinobatkan sebagai Adipati Aryo Mangkunegoro I.