Latar Belakang Keraton Yogyakarta


Keraton Kasultanan Yogyakarta didirikan pada tahun 1756 Masehi oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pendirian Keraton yang sekaligus menandai berdirinya Kota Yogyakarta ini, diabadikan dengan ornamen simbolik berupa candrasengkala berbunyi “Dwi Naga Rasa Tunggal”, yang bermakna angka tahun 1682 Jawa. 

Ornamen berupa 2 ekor naga yang saling berlilitan ini, terdapat di pintu gerbang atau Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlati yang berada di dalam Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono I dikenal sebagai arsitek yang banyak membangun karya arsitektur megah. Selain Keraton Kasultanan, Sultan juga membangun Pesanggrahan Tamansari, Benteng Vredeburg serta Tugu Pal Putih yang menjadi simbol Kota Yogyakarta. Bahkan, bangunan Keraton Kasunanan Surakarta pun merupakan karya arsitektur hasil rancangannya. Karya terbesar Sultan adalah landscape Kota Yogyakarta yang berorientasi pada poros magis Pantai Selatan, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. dan berada diantara aliran 2 sungai, Sungai Code dan Sungai Winongo. 

Konon, kedua sungai ini sempat dibelokkan arahnya untuk memberikan ruang yang memadai untuk pembangunan Keraton berikut bentengnya. Letak Keraton secara geografis digambarkan dalam sebuah tembang Mijil :

Kali Nanga pancingkok ing puri,Gunung Gamping kulon,Hardi Mrapi ler wetan prenahe,
Candi Jonggrang mangungkang ing kali,
Palered Magiri, Girilaya Kidul.
Kota-kota kerajaan di Jawa pada umumnya memiliki empat komponen utama, yang dikenal sebagai konsep Catur Gatra Tunggal atau empat komponen dalam satu kesatuan. Komponen-komponen itu adalah Keraton, Masjid, Alun-alun dan Pasar. Di Yogyakarta, semua komponen itu masih terpelihara lestari dan menjadi bagian aktifitas kehidupan warganya.

Pasar Beringharjo yang terletak di sebelah utara Keraton, sampai hari ini masih menjadi pasar terbesar di Kota Jogja, sehingga sering disebut Pasar Gedhe. Keramaian pasar ini tampaknya tidak banyak berubah sejak dua setengah abad yang lalu. Alun-alun, baik yang di utara maupun di belakang Keraton juga masih sebagaimana adanya semula, lengkap dengan 2 Pohon Beringin di tengahnya. keduanya masih utuh, meski lingkungan sekelilingnya telah berubah mengikuti perubahan wajah jaman. Bahkan luas keduanya tidak berkurang barang sejengkal pun juga. Begitu pula dengan Masjid Keraton atau Masjid Gedhe yang berada di sebelah barat Alun-alun Utara. Masjid Gedhe dan Alun-alun, masih tetap menjadi tempat diselenggarakannya upacara adat Garebeg yang telah diselenggarakan sejak jaman Sultan Hamengku Buwono I.

Sebagai situs pusaka budaya, Keraton Kasultanan Yogyakarta masih mempertahankan dan melestarikan sebagian besar bentuk dan fungsi bangunannya. Menelusuri halaman-halaman Keraton dengan mengenali berbagai bentuk dan fungsi bangunannya, adalah salah satu cara untuk memahami sebuah tradisi budaya, yang sudah berlangsung selama dua setengah abad lamanya.

Sumber  http://ragam-khasjogja.blogspot.com/
Dipostkan oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

0 komentar:

Leave a Comment

Jangan lupa beri komentar ya..