Latar Belakang Keraton Yogyakarta


Keraton Kasultanan Yogyakarta didirikan pada tahun 1756 Masehi oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pendirian Keraton yang sekaligus menandai berdirinya Kota Yogyakarta ini, diabadikan dengan ornamen simbolik berupa candrasengkala berbunyi “Dwi Naga Rasa Tunggal”, yang bermakna angka tahun 1682 Jawa. 

Ornamen berupa 2 ekor naga yang saling berlilitan ini, terdapat di pintu gerbang atau Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlati yang berada di dalam Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono I dikenal sebagai arsitek yang banyak membangun karya arsitektur megah. Selain Keraton Kasultanan, Sultan juga membangun Pesanggrahan Tamansari, Benteng Vredeburg serta Tugu Pal Putih yang menjadi simbol Kota Yogyakarta. Bahkan, bangunan Keraton Kasunanan Surakarta pun merupakan karya arsitektur hasil rancangannya. Karya terbesar Sultan adalah landscape Kota Yogyakarta yang berorientasi pada poros magis Pantai Selatan, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. dan berada diantara aliran 2 sungai, Sungai Code dan Sungai Winongo. 

Konon, kedua sungai ini sempat dibelokkan arahnya untuk memberikan ruang yang memadai untuk pembangunan Keraton berikut bentengnya. Letak Keraton secara geografis digambarkan dalam sebuah tembang Mijil :

Kali Nanga pancingkok ing puri,Gunung Gamping kulon,Hardi Mrapi ler wetan prenahe,
Candi Jonggrang mangungkang ing kali,
Palered Magiri, Girilaya Kidul.
Kota-kota kerajaan di Jawa pada umumnya memiliki empat komponen utama, yang dikenal sebagai konsep Catur Gatra Tunggal atau empat komponen dalam satu kesatuan. Komponen-komponen itu adalah Keraton, Masjid, Alun-alun dan Pasar. Di Yogyakarta, semua komponen itu masih terpelihara lestari dan menjadi bagian aktifitas kehidupan warganya.

Pasar Beringharjo yang terletak di sebelah utara Keraton, sampai hari ini masih menjadi pasar terbesar di Kota Jogja, sehingga sering disebut Pasar Gedhe. Keramaian pasar ini tampaknya tidak banyak berubah sejak dua setengah abad yang lalu. Alun-alun, baik yang di utara maupun di belakang Keraton juga masih sebagaimana adanya semula, lengkap dengan 2 Pohon Beringin di tengahnya. keduanya masih utuh, meski lingkungan sekelilingnya telah berubah mengikuti perubahan wajah jaman. Bahkan luas keduanya tidak berkurang barang sejengkal pun juga. Begitu pula dengan Masjid Keraton atau Masjid Gedhe yang berada di sebelah barat Alun-alun Utara. Masjid Gedhe dan Alun-alun, masih tetap menjadi tempat diselenggarakannya upacara adat Garebeg yang telah diselenggarakan sejak jaman Sultan Hamengku Buwono I.

Sebagai situs pusaka budaya, Keraton Kasultanan Yogyakarta masih mempertahankan dan melestarikan sebagian besar bentuk dan fungsi bangunannya. Menelusuri halaman-halaman Keraton dengan mengenali berbagai bentuk dan fungsi bangunannya, adalah salah satu cara untuk memahami sebuah tradisi budaya, yang sudah berlangsung selama dua setengah abad lamanya.

Sumber  http://ragam-khasjogja.blogspot.com/
Dipostkan oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Museum Paku Alam


Paku Alam adalah penguasa tertinggi kedua setelah kasultanan jogja. Sama seperti kraton jogja, paku Alaman juga memiliki kompleks sendiri.

Museum ini terletak di komplek puro pakuAlaman, tepatnya di sekitar jalan sultan agung / kusumanegara, Yogjakarta. Untuk masuk ke museum ini tidak ada tarif khusus yang ditentukan, kita hanya perlu memberi “ sekedar” tips untuk penjaga museumnya

Banyak benda-benda yang dipamerkan di museum ini, yang jelas semua milik keraton pakuAlam. Mulai dari singgasana paku Alam, foto-foto kuno, benda pusaka keris, senjata-senjata prajurit, sampai kereta kuno yang pernah digunakan oleh paku Alam.

Menurut guide yang menemani saya ketika berkunjung, ada juga keris pusaka yang dipajang di museum tersebut yang dibuat khusus dari Belanda. Yang paling membuat saya berkesan adalah adanya lukisan silsilah kerajaan pakuAlam yang ditulis tangan, silsilahnya ditulis dengan aksara jawa.









Keraton Paku Alaman


Puro Paku Alaman adalah bekas Istana kecil Kadipaten Paku Alaman. Istana ini menjadi tempat tinggal resmi para Pangeran Paku Alam mulai tahun 1813 sampai dengan tahun 1950, ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kadipaten Paku Alaman (bersama-sama Kesultanan Yogyakarta) sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi yang bernama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Arsitektur dan Tata ruang
Istana Paku Alaman ini adalah sebuah istana kecil jika dibandingkan dengan Keraton Yogyakarta. Ini menunjukkan kedudukan Kadipaten yang walaupun sebagai negara berdaulat sendiri di luar Kesultanan Yogyakarta namun tetap setingkat di bawahnya. Istana ini menghadap ke arah selatan (sekarang jalan Sultan Agung). Di depannya juga terdapat sebuah tanah lapang kecil, Alun-alun Paku Alaman. Masjid besar Paku Alaman terdapat di sebelah barat daya istana. Arsitektur masjid mirip dengan masjid raya kesultanan namun dalam skala lebih kecil dan sederhana. Di dalamnya juga terdapat mimbar dan maksura, tempat ibadah Pangeran Paku Alam, seperti di masjid raya kesultanan.
Arsitek istana Paku Alaman tidak diketahui lagi, begitu pula dengan bagian-bagian dalam istana ini. Hal ini dikarenakan Puro Paku Alaman masih menjadi tempat kediaman resmi Sri Paduka Paku Alam IX, yang juga Wakil Gubernur Prov. DIY. Bagian yang dapat dilihat adalah pendapa terdepan yang disebut dengan Bangsal Sewatama. Seadngkan bagian yang terbuka untuk umum hanyalah Museum Paku Alaman. Istana ini diapit oleh jalan umum di sisi utara(Jl. Purwanggan), timur (Jl. Harjono), dan selatan (Jl. Sewandanan). 

Gerbang istana Paku Alaman terdapat di sisi selatan (gerbang utama) dan sisi utara (sudah ditutup, namun masih ada bekas-bekasnya). Konon dulu Istana ini juga dikelilingi benteng baluwarti yang tidak beranjungan. Konon tembok tebal sepanjang 20 m di sisi utara jalan Sultan Agung sebelah timur pertigaan dengan jalan Jagalan dipercaya sebagai bekas baluwarti. Gerbangnya konon terdapat di ujung selatan jalan Gajah Mada.

Warisan Paku Alaman
Warisan yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum adalah yang terdapat dalam museum Paku Alaman. Di antara koleksinya adalah terjemahan perjanjian politik sebagai dasar berdirinya Kadipaten Paku Alaman serta berbagai perjanjian politik lainnya. Selain itu terdapat beberapa pusaka kerajaan (royal heirlooms) diantaranya adalah singgasana KGPA Paku Alam I, payung kebesaran "Songsong Bharad", serta "Songsong Tunggul Naga", Senjata tombak trisula, pakaian kebesaran, serta kereta kuda yang menjadi kendaraan resmi para Pangeran Paku Alam.

Pemangku Adat
Semula Puro Paku Alaman merupakan Lembaga Istana yang mengurusi raja dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kadipaten Paku Alaman. Setelah Kadipaten Paku Alaman bersama-sama Kesultanan Yogyakarta diubah statusnya dari negara menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Puro Paku Alaman mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Paku Alaman Yogyakarta. Fungsi Puro Paku Alaman berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Paku Alaman Yogyakarta. Budaya Jawa gaya Paku Alaman ini kurang begitu terlihat dan berpengaruh di Yogyakarta mengingat wilayah Kadipaten Paku Alam yang kecil dan terletak jauh di pantai selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.

Namun demikian ada perbedaan antara Puro Paku Alaman Yogyakarta dengan Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sri Paduka Paku Alam selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Puro Paku Alaman juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1998 Sri Paduka Paku Alam secara otomatis diangkat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa ditunjuk sebagai penjabat jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. 

Setelah 1999 keturunan Sri Paduka Paku Alam tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sri Paduka Paku Alam IX

Paku Alam IX


KGPAA Paku Alam IX (dengan nama lahir BRMH Ambarkusumo lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1938; umur 72 tahun) adalah pangeran pertama dari Pakualaman yang ditahtakan setelah Indonesia merdeka. Ibundanya bernama KBRAy Purnamaningrum. Pada 26 Mei 1999 KPH Ambarkusumo ditahtakan sebagai KGPAA Paku Alam IX menggantikan mendiang ayahnya Paku Alam VIII.

Dari pernikahannya di tahun 1966, beliau dikaruniai 3 orang putra. Di tahun 2003 beliau diangkat menjadi wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2003-2008, mendampingi Hamengkubuwono X sebagai gubernur. Didampingi Patih Yuswa Asma Buwono.

Riwayat hidup
Banyak yang mengatakan bahwa KPH/Prince Ambarkusumo yang dinobatkan menjadi Paku Alam IX, bukanlah sosok yang tepat untuk mewarisi tahta Pakualam dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya masih banyak yang belum mengenal sosoknya. Selain Sultan Hamengku Buwono, Pakualam juga memiliki peranan yang penting di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sri Paku Alam IX atau yang sebelumnya dikenal dengan nama B. R. M. H. Ambarkusumo ini merupakan putra tertua dari K.G.P.A.A. Paku Alam VIII dan ibundanya K.R.Ay. Purnamaningrum. Beliau menikah dengan teman SMA-nya, Koesoemarini, yang merupakan alumni dari Universitas Gajah Mada, Faculty of letters tahun 1966.

Mereka kemudian dikaruniai 3 orang putra, yakni:
  1. Wijoseno Hariyo Bimo, lahir tahun 1962, seorang Ekonom
  2. Hariyo Seno, lahir tahun 1972, dan
  3. Hariyo Danardono, lahir tahun 1974, seorang mahasiswa.
Putra pertama mereka, Wijoseno Hariyo Bimo menikah dengan Atika Purnomowati, seorang Ekonom pula dan dikaruniai dua orang putra. Mereka sekeluarga tinggal di dalam lingkungan istana Pakualaman di Yogyakarta (Suryo S. Negoro).


Sumber wikipedia
Dipostkan kembali oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Paku Alam VIII



Pendidikan yang ditempuh adalah Europesche Lagere School Yogyakarta, Christelijk MULO Yogyakarta, AMS B Yogyakarta, Rechts Hoogeschool (sampai candidaat). Pada 13 April  1937 beliau ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo menggantikan mendiang ayahnya. Setelah kedatangan Bala Tentara Jepang di tahun 1942 beliau mulai menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII.

Pada 19 Agustus 1945 bersama Hamengkubuwono IX, Paku Alam VIII mengirimkan kawat (semacam sms namun bersifat resmi) kepada Sukarno dan Hatta atas berdirinya RI dan terpilihnya kedua beliau sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada 5 September 1945 secara resmi KGPAA Paku Alam VIII mengeluarkan Amanat/Maklumat (semacam dekrit kerajaan) bergabungnya Kadipaten Pakualaman dengan Negara Republik Indonesia. Sejak saat itulah kerajaan terkecil pecahan Mataram ini menjadi daerah Istimewa.

Melalui Amanat Bersama antara Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII dan dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Yogyakarta pada 30 Oktober tahun yang sama, beliau berdua sepakat untuk menggabungkan Daerah Kasultanan dan Kadipaten dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jabatan yang dipangku selanjutnya adalah Wakil Kepala Daerah Istimewa, Wakil Ketua Dewan Pertahanan DIY (Oktober 1946), Gubernur Militer DIY dengan pangkat Kolonel (1949 setelah agresi militer II). Mulai tahun 1946-1978 Paku Alam VIII sering menggantikan tugas sehari-hari 

Hamengkubuwono IX sebagai kepala daerah istimewa karena kesibukan Hamengkubuwono IX sebagai menteri dalam berbagai kabinet RI. Selain itu beliau juga menjadi Ketua Panitia Pemilihan Daerah DIY dalam pemilu tahun 1951, 1955, dan 1957; Anggota Konstituante (November 1956); Anggota MPRS (September 1960) dan terakhir adalah Anggota MPR RI masa bakti 1997-1999 Fraksi Utusan Daerah.

Setelah Hamengkubuwono IX mangkat di tahun 1988, Paku Alam VIII menggantikan sang mendiang menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sampai akhir hayat beliau di tahun 1998. Perlu ditambahkan bahwa pada 20 Mei 1998 beliau bersama Hamengkubuwono X mengeluarkan Maklumat untuk mendukung Reformasi Damai untuk Indonesia. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).

Sumber wikipedia
Dipostkan kembali oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Paku Alam VII

BRMH Surarjo kelahiran Yogyakarta, 9 Desember 1882 adalah putra Paku Alam VI dari permaisuri. Ia ditinggal mangkat oleh ayahnya saat masih menyelesaikan studi di HBS Semarang. Sambil menunggu Surarjo menyelesaikan studi, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat sebuah Raad van Beheer/Dewan Perwalian Pakualaman untuk menyelenggarakan pemerintahan Pakualaman sehari-hari. Akhirnya pada 16 Oktober 1906 beliau diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai penguasa tahta Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo. Namun upacara resmi pentahtaan baru dilaksanakan pada 17 Desember tahun yang sama.

Setelah bertahta Prabu Suryodilogo, bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda, mengadakan beberapa pembaruan dibidang sosial dan agraria. Kemudian beliau juga mereformasi bidang pemerintahan dengan mulai menerbitkan rijksblad (semacam lembaran Negara) untuk daerah Pakualaman. Pengertian yang konservatif secara berangsur digantikan dengan pikiran yang modern dan berpandangan luas. Pada 10 Oktober 1921 pengganti Paku Alam VI menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII dan oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi pangkat Kolonel tituler. Pembaruan tidak berhenti di tahun itu tetapi terus berlanjut, terutama dalam penyempurnaan pengelolaan anggaran keuangan. Pemerintah desa pun tidak luput dari pembenahan dan reorganisasi. Status kewarganegaraan penduduk dipertegas dengan membedakan antara warga Negara (kawulo kerajaan/kadipaten) dan bukan warga Negara (kawulo gubermen).

Disamping pemerintahan perhatian Paku Alam VII juga tertuju pada kesenian. Pagelaran wayang orang berkembang dengan baik. Dalam kesempatan menerima tamu-tamu dari luar negeri beliau acapkali menjamu mereka dengan wayang orang dan beksan (tari-tarian klasik). Dalam bidang pendidikan beliau mengijinkan sekolah-sekolah berdiri di daerah Adikarto (bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang) serta mengadakan sebuah lembaga beasisiwa untuk menjamin kelanjutan studi bagi mampu melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.

Pada 5 Januari 1909 Paku Alam VII menikah dengan GBRA Retno Puwoso, Putri dari Pakubuwono X, Sunan Surakarta. Seluruh putra-putri beliau ada 7 orang. Ketika putra mahkota berkunjung ke Nederland untuk menghadiri pesta perkawinan Putri Mahkota Belanda Juliana dan Pangeran Bernard, Paku Alam mangkat. Ia berpulang pada 16 Februari 1937 dan dimakamkan pada 18 Februari tahun yang sama di Girigondo Adikarto (sekarang bagian selatan Kabupaten Kulon Progo).

Sumber wikipedia
Dipostkan kembali oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Paku Alam VI

KPH Notokusumo dilahirkan pada 9 April 1856 (versi lain 1860). Ia adalah putra Paku Alam V dari permaisuri. Walaupun tidak sampai selesai dalam menuntut ilmu, Notokusumo pernah sekolah di HBS. Ia merupakan tokoh yang representatif dan dapat baca-tulis dalam bahasa Belanda.

Notokusumo ditahtakan menggantikan mendiang ayahnya pada 11 April 1901 dan langsung menggunakan gelar Kajeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VI. Dari Pemerintah Hindia Belanda beliau juga mendapat pangkat Kolonel tituler. Sungguh sayang kondisi beliau yang kurang sehat menyebabkan banyak tugas yang diserahkan kepada adiknya, KPH Notodirojo.

KGPAA Paku Alam VI memiliki 9 putra-putri. Secara mendadak penguasa Kadipaten Paku Alaman ini meninggal pada 9 Juni 1902 dan dimakamkan di Girigondo, Adikarto (sekarang Kabupaten Kulon Progo bagian selatan). Banyak tugas yang belum dapat beliau kerjakan selama memegang tampuk pemerintahan yang sangat singkat.

Sumber wikipedia
Dipostkan kembali oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Paku Alam V

KPH Suryodilogo dilahirkan pada 23 Juni 1833 di Yogyakarta. Ibundanya adalah selir Paku Alam II. Setelah KGPA Surya Sasraningrat [ Paku Alam IV ] mangkat dengan mendadak timbul suatu riak-riak di keluarga Paku Alam untuk menentukan siapa pengganti beliau. Pilihan sulit yang dimiliki mereka adalah diambilkan keturunan langsung Surya Sasraningrat [ Paku Alam IV ], keturunan langsung Paku Alam II atau keturunan langsung Surya Sasraningrat [ Paku Alam III ].

Akhirnya KPH Suryodilogo, seorang komandan Legium Pakualaman terpilih sebagai pengganti mendiang KGPA Surya Sasraningrat [ Paku Alam IV ]. Pada 10 Oktober 1878 (versi lain mengatakan tanggal 9 Oktober dan 15 Desember pada tahun yang sama), KPH Suryodilogo ditahtakan sebagai kepala Kadipaten Paku Alaman ke 5 dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Prabu Suryodilogo.

KGPAA Prabu Suryodilogo memegang kewajiban yang sangat berat. Diantaranya adalah melunasi hutang mendiang kepala Kadipaten Pakualaman dan memelihara serta menegakkan ketertiban/keamanan di wilayah Pakualaman. Setelah menujukkan tanda-tanda kemajuan yang baik dalam melaksanakan tugasnya maka pada 20 Maret 1883 beliau diperkenankan memakai gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam V. Paku Alam V tidak banyak memberi apresiasi di bidang kesusastraan karena beliau memilih berkecimpung di bidang Ekonomi. Selain prestasi sebuah pukulan berat harus diterima dengan dibubarkannya angkatan perang Pakualaman di tahun 1892.

Berbeda dengan pendahulunya, Paku Alam V merintis anggota keluarga Paku Alam untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah Belanda antara lain di Sekolah Dokter Jawa. Bahkan mulai 1891 beliau mengirim beberapa putra dan cucunya ke Negeri Belanda (Nederland) untuk mengecap pendidikan disana. Dari pemikiran beliau yang tidak kolot ini muncul beberapa hasil diantaranya ada anggota keluarga Paku Alam yang menjadi anggota Volksraad dan Raad van Indie (walaupun beliau tidak dapat melihat langsung hasilnya karena telah mangkat).

Paku Alam V memiliki 17 putra-putri yang dilahirkan baik dari permaisuri maupun selir. Salah seorang putra beliau, KPAA Kusumoyudo, adalah anggota Raad van Indie. Setelah 22 tahun memerintah, pada 6 November 1900, KGPAA Paku Alam V mangkat dan dimakamkan di Girigondo, Adikarto (sekarang-maret 2007- merupakan bagian selatan Kabupaten Kulon Progo).

Sumber wikipedia
Dipostkan kembali oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Paku Alam IV

M Nataningrat dilahirkan 25 Oktober 1841 (versi lain 1840) di Yogyakarta. Ia diperjuangkan GK Ratu Ayu permaisuri PA II untuk menjadi pewaris tahta. Di sini sekali lagi dapat dilihat peranan perempuan dalam mengatur pemerintahan di zaman kerajaan (bandingkan dengan pengaruh besar ibunda Hamengkubuwono III dalam mendudukkan putranya dengan mendongkel kedudukan suaminya).


Pada 1 Desember 1864 RM Nataningrat ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat menggantikan mendiang pamannya. Masa pemerintahan beliau ditandai dengan kemunduran Kadipaten Pakualaman. Banyak dari kebijakan Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] menimbulkan ketidakpuasan. Selain itu beliau tidak begitu mahir dalam hal kesusastraan dan kebudayaan. Di keluarga besar Paku Alam pun terjadi beberapa perubahan yang cenderung kurang baik akibat sering bergaul dengan orang-orang Belanda. Kemewahan dan foya-foya menjadi penyebab kehancuran beberapa anggota keluarga Paku Alam.

Namun disamping itu, dengan perjanjian politik 1870, Kadipaten Pakualaman diperkenankan memiliki setengah batalyon infantri dan satu kompi kavaleri. Legiun ini lebih besar dari angkatan perang yang diperbolehkan pada masa para pendahulunya. Perlu ditambahkan pula, KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] mengirim seorang pegawai laki-lakinya untuk menuntut ilmu di Kweekschool Surakarta dan seorang pegawai perempuannya untuk menuntut ilmu kebidanan di Jakarta. Agaknya inilah yang akan mendorong para Paku Alam selanjutnya untuk menyekolahkan anggota keluarga besar Paku Alam ke sekolah Belanda.

KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] menikah pertama kali dengan Putri Bupati Banyumas yang kemudian diceraikan karena sakit. Perkawinan yang kedua dengan GK Ratu Ayu putri Hamengkubuwono VI.

Namun lagi-lagi seperti perkawinan yang pertama beliau tidak memperoleh anak. GK Ratu Ayu selanjutnya juga diceraikan. Perlu dicatat GK Ratu Ayu kemudian menikah dengan Bupati Demak dan melahirkan Bupati Jepara, ayah RA Kartini. KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] hanya memiliki 2 putra-putri yang berasal dari selir. Pada 24 September 1878 beliau mangkat dan dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta.

Sumber wikipedia
Dipostkan kembali oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Paku Alam III

GPH Sasraningrat dilahirkan pada 20 Desember 1827 oleh permaisuri Paku Alam II GK Ratu Ayu di Yogyakarta. Sebelum menjadi penguasa kadipaten beliau pernah membantu ayahandanya mulai 1857. Setelah ayahnya mangkat pada 23 Juli 1859, GPH Sasraningrat ditahtakan pada 19 Desember 1858 dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat. Seperti mendiang Paku Alam II, Kepala Kadipaten Pakualaman ini juga gandrung akan kesusastraan. Ia sempat menulis beberapa karangan antara lain, Serat Darmo Wirayat, Serat Ambiyo Yusup (saduran ceritra Amir Hamzah) dan Serat Piwulang. Selain itu beliau juga mengadakan kontak surat dengan para sastrawan Surakarta.

KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam III] memiliki 10 putra-putri. Salah seorang putranya adalah KPH Suryaningrat. Pangeran ini merupakan ayahanda dari Ki Hajar Dewantoro (pendiri Taman Siswa dan menteri Pendidikan RI yang pertama). Pemerintahan KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam III] tidak berlangsung lama karena beliau mangkat pada 17 Oktober 1864 ketika berusia 37 tahun. Saat beliau mangkat putra-putrinya semua masih kecil sehingga belum ada yang dapat menggantikan sebagai Paku Alam IV.

KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam III] dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta. Sampai saat mangkat beliau secara resmi tidak menggunakan gelar KGPA Paku Alam III karena belum berusia 40 tahun. Gelar Paku Alam hanya dapat digunakan secara resmi oleh penguasa Kadipaten mulai usia 40 tahun. Namun peraturan ini banyak mengalami perubahan nantinya.

Sumber wikipedia
Dipostkan kembali oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Paku Alam II

RT Notodiningrat dilahirkan 25 Juni 1786 (versi lain 1785) di Yogyakarta. Ia adalah putera pertama BPH Notokusumo (Paku Alam I). Kiprah RT Notodiningrat dalam kancah politik telah dilakukan ketika masih muda. Ketika terjadi intrik di istana beliau sempat diangkat menjadi sekretaris istana oleh pamannya, Sultan Sepuh. Notoningprang juga turut dibuang bersama ayahnya ke Semarang dan Batavia. Selama pemerintahan Paku Alam I beliau sudah mendampingi ayahnya memerintah.

Pada 1814 beliau dilantik menjadi Pangeran Suryaningrat. Setelah ayahanda mangkat, maka pada 31 Desember 1829 sang pangeran ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat. Melalui perjanjian politik 1831-1832-1833 dengan Pemerintah Hindia Belanda, KGP Adipati Suryaningrat dikukuhkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II. Dalam masa pemerintahannya ditandai dengan apresiasi yang tinggi dari beliau terhadap kesenian dan kesusastraan disamping meletakkan dasar pemerintahan Kadipaten Pakualaman.

Kebudayaan menemukan wujud yang baru dalam kadipaten walaupun tidak meninggalkan pokoknya.
Perlu dicatat bahwa Paku Alam II dari garwa padmi (permaisuri) mendapat empat orang putra. Sementara keseluruhan putra-putri beliau berjumlah 16 orang. Pada waktu beliau naik tahta putra sulungnya yang bernama GPH Suryoputro telah wafat.

Putra kedua yaitu GPH Suryaningrat terganggu ingatannya karena terlalu mendalami soal mistik. Putra yang ketiga GPH Nataningprang mendampingi beliau dalam memegang tampuk pemerintahan dan merupakan tulang punggungnya. Namun putra ketiga ini mendahului meninggal dunia pada 1857. Dengan demikian putra terakhirnya, GPH Sasraningrat, yang menggantikan membantu tampuk pemerintahan sekaligus pewaris tahta berikutnya. Akhirnya KGPA Paku Alam II mangkat pada 23 Juli 1858 setelah bertahta sekitar 30 tahun dan dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta.

Sumber wikipedia
Di terbitkan oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Paku Alam I

Pangeran Notokusumo / Pangeran Adipati Paku Alam I (1813-1829). Pendiri wangsa Pakualaman yang lahir pada tahun 1760 ini adalah peletak dasar kebudayaan Jawa dalam Kadipaten Pakualaman. Kepada para putra sentana, PA I memberi pelajaran sains dan tata negara. Beberapa karya sastranya adalah: Kitab Kyai Sujarah Darma Sujayeng Resmi (syair), Serat Jati Pustaka (sastra suci), Serat Rama (etika), dan Serat Piwulang (etika). Ia wafat pada tanggal 19 Desember 1829

Sejarah
Bendara Pangeran Harya Notokusumo dilahirkan pada 21 Maret 1760 di Yogyakarta. Ia adalah putera ketigaSultan HB Idan Raden Ayu Srenggoro, seorang selir yang berasal dari desa Karangnongko. Di dalam urutan seluruh putra-putri Hamengkubuwono I Notokusumo adalah urutan ke 11. Ia merupakan salah satu putra terkasih Sultan HB I.

Kiprah BPH Notokusumo dalam kancah politik telah dilakukan ketika masih muda. Sekitar 1780 beliau mendapat gelar Bandoro Pangeran Hario (disingkat BPH), sebuah gelar pejabat senior di Kasultanan Yogyakarta. Putra Raden Ayu Srenggoro ini sangat dekat hubungannya dengan Pangeran Adipati Anom (gelar putra mahkota) yang kelak menjadi Hamengkubuwono II.

Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono II timbul intrik-intrik istana yang disulut oleh Patih Danurejo II (semacam Sekretaris Negara) dan Van Braam, minister untuk Surakarta. Pertentangan antara Sultan HB II dan Patihnya membawa banyak sekali akibat. Hubungan antara Hamengkubuwono II dan Pangeran Adipati Anom yang kelak menjadi Hamengkubuwono III tidak harmonis. Untuk meredam ambisi Danurejo II, Sultan mengangkat RT Notodiningrat (kelak menjadi Paku Alam II) menjadi sekretaris istana dan menyerahkan hampir semua urusan Sekretariat Negara padanya. Hal ini semakin memperuncing keadaan yang ada.

Dengan sedikit intrik, Danurejo II berhasil memancing pemberontakan Bupati Madiun, R Rangga. BPH Notokusumo dan terutama putranya RT Notodiningrat ikut terseret dan dituduh mendalangi pemberontakan. Berkat laporan keliru yang dibuat Danurejo II dan van Braam, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Belanda-Perancis di Batavia, memerintahkan pembebasan tugas RT Notodiningrat dari sekretaris istana.

Selanjutnya Daendels meminta Hamengkubuwono II untuk menyerahkan Notokusumo dan Notodiningrat ke Semarang. Akhirnya Notokusumo dan Notodiningrat diberangkatkan ke Semarang dan ditawan disana. Kemudian kedua tawanan dibawa ke Tegal dan selanjutnya ke Cirebon, dimana terjadi upaya pembunuhan terhadap mereka. 

Setelah dari Cirebon, Notokusumo dan Notodiningrat dipindahkan ke Batavia. Pada saat yang sama, dengan perundingan dan kekuatan 7000 pasukan Belanda-Perancis, Hamengkubuwono II dimakzulkan paksa dari tahtanya. Sebagai pengganti diangkatlah Pangeran Adipati Anom sebagai Hamengkubuwono III.

Di Batavia ternyata juga terjadi kejadian yang tak terduga. Daendels dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens. Gubernur Jenderal yang baru ini berusaha memulihkan keadaan dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan pendahulunya. Notokusumo dan Notodiningrat tidak lagi diperlakukan sebagai tawanan kriminal. Namun beliau berdua tetap belum diperbolehkan kembali ke Kesultanan Yogyakarta.

Pada jeda waktu yang tak terlalu lama terdengar berita Bala Tentara Pemerintah Kerajaan Inggris mulai masuk perairan Laut Jawa. BPH Notokusumo dan RT Notodiningrat diminta ke Bogor dan diserahkan pada adik Sekretaris Jendral Belanda- Perancis. Setelah tentara Belanda-Perancis kalah di Batavia dan Meester Cornelis (sekarang kawasan Jatinegara) serta pasukan Kerajaan Inggris menuju Bogor, Kedua bangsawan Yogyakarta dipindahkan ke Semarang dan akhirnya ke Surabaya.

Di Surabaya, Notokusumo ditemui Pejabat Kerajaan Inggris. Pemerintah Kerajaan Inggris tertarik dengan kasus pengasingannya. Setelah proses penyelidikan akhirnya Raad van Indie berpendapat kedua bangsawan hanya merupakan korban kelicikan intrik-intrik pejabat Belanda-Perancis. Inggris berpendapat bahwa BPH Notokusumo adalah orang yang tepat untuk melunakkan Hamengkubuwono II yang menentang Inggris. Kemudian beliau diminta Gubernur Jawa di Semarang untuk tinggal di kota tersebut.

Di kota lumpia itu BPH Notokusumo mendapat sambutan yang baik. Ia berterima kasih kepada Inggris atas kepercayaan terhadapnya dan putranya. Inggris berharap Notokusumo bersedia menjadi mediator antara Inggris dengan Sultan Sepuh yang bertahta kembali dan menentang Inggris. Setidaknya Soedarisman Poerwokoesoemo mencatat ada dua versi yang berbeda mengenai peran Notokusumo di tahun 1811-1812 di Yogyakarta.

Versi pertama mengatakan setelah kembali ke Yogyakarta BPH Notokusumo menjelaskan maksud kedatangannya pada Sultan. Sultan dalam pernyataannya menerima proposal Inggris untuk menyerahkan tahta kepada Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan Danurejo II yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi amnesty kepada Sultan. Sultan juga meminta agar sikapnya jangan dipublikasikan. Sultan menyambut sendiri Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles ketika datang ke Yogyakarta dan mengadakan jamuan kenegaraan.

Konflik dan intrik berdarah ternyata tidak berhenti. Kondisi yang berbalik seratus delaan puluh derajat ini menyebabkan Adipati Anom menjadi ketakutan. Kali ini konflik turut menyeret Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagaran. Setelah ibundanya ditahan oleh Sultan Sepuh-karena dianggap ikut mempengaruhi Adipati Anom-, Adipati Anom bekerja sama dengan Kapten Tan Djiem Sing menemui John Crawfurd, residen Inggris untuk Yogyakarta. Dari hasil pertemuannya Crawfurd dalam suratnya kepada Raffles mengusulkan Adipati Anom di angkat lagi menjadi sultan. Dalam surat itu pula Notokusumo diusulkan menjadi Pangeran Merdiko. Akhirnya diusulkan Letnan Gubernur Jenderal datang ke Yogyakarta dengan membawa pasukan untuk berperang.

Versi kedua mencatat segera setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda-Perancis kepada Inggris, Hamengkubuwono II kembali mengambil alih tahta dari putranya. Kepada pemerintah Inggris Sultan mengusulkan bebrapa tuntutan, diantaranya, pembayaran kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang diambil Belanda, Penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya BPH Notokusumo dan RT Notodiningrat.

Oleh Raffles Sultan Sepuh dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat kedudukannya. Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi. Sebaliknya Sultan diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan. Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, Sultan segera mengadakan perundingan dengan Sunan Surakarta untuk melepaskan diri dari Inggris.

Sultan secara terang-terangan menentang Inggris dengan menolak pembubaran korps prajuritnya dan memperkuat pertahanan di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata. Notokusumo dan Kapten Tan Djiem Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.

Dan akibatnya pada pertengahan Juni 1812, Admiral Gillespie datang ke Yogyakarta dengan pasukan bersenjata lengkap. Selain itu Legiun Pangeran Prangwadono (Mangkunagaran) juga diperbantukan. Segera Gillespie mengirim ultimatum kepada Sultan untuk segera merealisasikan sikapnya dengan menyerahkan tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Notokusumo menjadi pangeran merdiko. Sultan dengan tegas enggan memenuhi ultimatum.

Sebuah versi mengemukakan mulai 18 Juni 1812 istana mulai dihujani meriam. Setelah mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir istana dapat ditaklukkan pada 20 Juni 1812. Versi lain berpendapat mulai 20 Juni 1812 keraton mulai diserang dan pada 28 Juni 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan Sepuh untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi Hamengkubuwono III ditahtakan sebagai Sultan Yogyakarta.

Pada 29 Juni 1812 Notokusumo diangkat oleh Pemerintah Kerajaan Inggris menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Pengangkatan ini berdasarkan jasa-jasanya terhadap Pemerintah Inggris (lihat Perjalanan Panjang Menuju Tahta Paku Alam di atas). Melalui Perjanjian Politik 17 Maret 1813 (sering disebut dengan Politiek Contract)Notokusumo secara resmi diangkat sebagai Pangeran Merdiko dibawah Pemerintah Inggris dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam. Kepadanya diberikan tanah dan tunjangan, tentara kavaleri, hak memungut pajak, dan hak tahta yang turun temurun. Semua ini diperoleh dengan imbalan kesetiaan kepada Pemerintah Inggris. Daerah kekuasaan Paku Alam meliputi sebuah kemantren di kota Yogyakarta (sekarang menjadi wilayah kecamatan Pakualaman) dan Daerah Karang Kemuning (Adikarto) di bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.

Pekerjaan sebagai penguasa baru telah menunggu. Di samping mengurusi daerahnya sendiri Paku Alam I juga diangkat Raffles menjadi wali Hamengkubuwono IV antara 1814-1820. Tugas perwalian ini sangat terbatas karena harus berbagi dengan GK Ratu Ageng dan GK Ratu Kencono, nenek dan bunda Sultan, serta Patih Kasultanan. Semasa Hamengkubuwono V (ditahtakan ketika berusia balita), Paku Alam tidak lagi diikutkan pada perwalian. Pada 7 Maret 1822 secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi gelar Pangeran Adipati. Selanjutnya gelar ini hanya digunakan untuk para penguasa Kadipaten yang telah berusia lebih dari 40 tahun. Dalam Perang Jawa 1825-1830 Paku Alam bersifat pasif. Setelah memerintah selama sekitar 16 tahun Paku Alam mangkat dan dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta. Pendiri Kadipaten Pakualaman ini meninggalkan 11 putra-putri.

Sumber wikipedia
Dipostkan oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Kereta - Kereta Keraton Yogyakarta



Pada masa lalu kendaraan yang digunakan oleh Kraton Ngayogyakarta, baik yang dipakai untuk kepentingan bepergian, perkawinan sampai untuk mengangkut jenasah, adalah jenis kendaraan yang disebut sebagai kereta. Jadi, pada masa itu, hanya kraton yang memiliki kereta, yang diberi nama bermacam-macam. Kereta-kereta tersebut bukan produksi Kraton Ngayogyakarta, atau warga negerinya, tetapi produksi dari negeri lain, diantaranya Belanda.

Kendaraan kereta pada masa itu adalah jenis kendaraan yang mewah. Kendaraan lain yang dipakai, dan sebetulnya bukan kendaraan, tetapi binatang yang “difungsikan” sebagai kendaraan, ialah kuda.
Jadi, jika sekarang mobil adalah jenis kendaraan mewah, pada waktu dulu kereta adalah jenis kendaraan mewah, dan jika dilihat dengan menggunakan referensi sekarang kereta adalah bentuk lain dari mobil. Sebagaimana dulu ada banyak kereta, di Kraton sekarang juga cukup banyak mobil. Nomornyapun khusus, AB 10 HB. Nomor ini menunjuk Kraton Ngayogyakarta dengan definisi: AB adalah tanda nomor Yogya. 10 adalah menunjuk generasi urutan, karena sebelumnya adalah HB IX dan sekarang, Rajanya, adalah HB X. Sedang HB adalah kepanjangan dari Hamengkubuwana. Jadi, melihat nomor khas tersebut dengan segera, setidaknya publik Yogya, utamanya para pejabat telah mengerti mobil siapa yang memakai nomor itu.
Kembali pada kereta Kraton Ngayogyakarta yang mempunyai bermacam nama, memang berbeda dengan mobil-mobil yang juga bisa ditemui di Kraton. Namun untuk keperluan-keperluan khusus, terutama berkaitan dengan ritual Kraton, Kereta masih digunakan, misalnya untuk pemakaman Sultan HB IX kereta jenasah masih dipakai, bukan mobil ambulans. Juga, ketika untuk kirab jumenangan Sultan HB X, kereta raja masih dipakai, bukam mobil Mercy misalnya, atau BMW. Dalam pernikahan anaknya, yang bernama GKR Pembayun, yang akan dilakukan tanggal 28 Mei 2002, kereta Kraton masih akan digunakan.

Dalam kata lain, meskipun telah ada jenis kendaraan lain yang lebih modern dan lebih memberi kenikmatan, dalam hal-hal ritual Kraton, kereta masih dipergunakan.

Foto-foto berikut bisa anda lihat, dalam berbagai macam tahun dan nama, kereta mempunyai tanda sendiri-sendiri, setidaknya seperti mobil, orang bisa mengenal mobil jenis BMW, Mercy, Honda, Susuki, Toyota, Reynault, Hyundai dsb. Dalam kereta pada masa lalu, orang juga bisa mengenal nama-nama, setidaknya seperti merk mobil.

Ada 23 kereta –yang dalam hal ini disebut sebagai “kareta”– yang disimpan didalam museum kareta yang dulunya merupakan ‘garasi’ bagi kereta-kereta kraton. Seekor kuda masih ada dikandang yang terletak disebelah lokasi museum. 

Beberapa kareta yang dianggap keramat disendirikan dan pintu penyekat hanya dibuka ketika ada pengunjung.

Adapun ke-23 kareta tersebut adalah :

1. Kareta Kyai Jongwiyat.
Buatan Belanda (Den Haag) tahun 1880. Peninggalan Sri Sultan HB VII, dipergunakan untuk manggala yudha atau dalam peperangan, misalnya untuk memeriksa barisan prajurit dan sebagainya. Sri Sultan HB VII adalah sultan yang paling banyak melakukan peperangan dengan Belanda. Kareta ini ditarik oleh 6 ekor kuda. Pada saat Sri Sultan HB X menikahkan putrinya kareta ini kembali dipergunakan. Beberapa bagian dari kareta ini sudah mengalami renovasi, misalnya warna cat yang sudah diganti menjadi kuning.

2. Kareta Kyai Jolodoro.
Buatan Belanda 1815. Peninggalan Sri Sultan HB IV. Kareta Jolodoro adalah kareta pesiar (dari kata “Jolo” = menjaring, “Doro” = gadis). Pengendali atau sais berdiri dibelakang. Dikendalikan oleh 4 ekor kuda.

3. Kareta Roto Biru
Buatan Belanda pada tahun 1901 pada masa Sri Sultan HB VIII. Dinamakan Roto Biru mungkin karena kareta ini didominasi oleh warna biru cerah sampai ke bagian roda-nya. Dipergunakan untuk manggala yudha bagi panglima perang. Pada saat HB X menikahkan putrinya, kareta ini dipergunakan untuk mengangkut besan mertua. Kareta ini ditarik oleh 4 ekor kuda.

4. Kyai Rejo Pawoko
Buatan tahun 1901 pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII yang diperuntukkan sebagai sarana transportasi bagi adik-adik Sultan. Ditarik oleh 4 ekor kuda. Konon dibelinya bersamaan dengan lahirnya Pak Karno ditahun 1901.

5. Kareta Landower.
Kareta ini dibeli pada masa Sri Sultan HB VIII pada tahun 1901, buatan Belanda. Dahulu sempat dipamerkan di Hotel Ambarukmo. Ditarik oleh 4 ekor kuda.

6. Kareta Premili.
Kareta ini dirakit di Semarang pada tahun 1925 dengan spare-part yang didatangkan dari Belanda. Digunakan untuk menjemput penari-penari Kraton. Ditarik oleh 4 ekor kuda. Pada salah satu bagian roda-nya tertulis “G.Barendsi”.

7. Kareta Kus No:10 (baca : Kus Sepuluh).
Buatan Belanda pada tahun 1901 pada masa Sri Sultan HB VIII. Aslinya adalah kareta Landower dan bisa dipergunakan untuk pengantin. Cat aslinya yang berwarna hijau sudah diganti menjadi kuning dan dipercayai mengandung makna politis (warna salah satu parpol) pada saat dilakukan pengecatan ulang. Walaupun bisa dipergunakan sebagai kareta pengantin namun pada acara pernikahan putri Sri Sultan HB X yang baru lalu kareta ini tidak dipakai oleh mempelai.

8. Kareta Kapulitin.
Merupakan kareta untuk pacuan kuda/bendi. Dibeli pada jaman pemerintahan Sri Sultan HB VII yang memang menggemari olah raga berkuda. Kareta ini hanya ditarik oleh 1 ekor kuda saja.

9. Kareta Kyai Kutha Kaharjo.
Dibeli pada jaman pemerintahan Sri Sultan HB IX, buatan Berlin tahun 1927. Dipergunakan untuk mengiringi acara-acara yang diselenggarakan oleh Kraton, ditarik oleh 4 ekor kuda.

10. Kareta Kus Gading.
Dibeli pada masa Sri Sultan HBVIII. Buatan Belanda pada tahun 1901. Ditarik oleh 4 ekor kuda.

11. Kareta Kyai Puspoko Manik.
Kareta buatan Belanda (Amsterdaam) yang dipergunakan sebagai pengiring acara-acara Kraton termasuk untuk pengiring pengantin. Ditarik oleh 4 ekor kuda.

12. Kareta Roto Praloyo.
Merupakan kareta jenazah yang dibeli pada masa Sri Sultan HB VIII pada tahun 1938. Kareta inilah yang membawa jenazah Sultan dari Kraton menuju Imogiri. Ditarik oleh 8 ekor kuda.

13. Kareta Kyai Jetayu.
Dibeli pada masa Sri Sultan HBVIII pada tahun 1931. Diperuntukkan sebagai alat transportasi bagi putri-putri Sultan yg masih remaja. Ditarik oleh 4 ekor kuda dengan pengendali yang langsung berada diatas kuda.

14. Kareta Kyai Harsunaba.
Kareta ini merupakan sarana transportasi sehari-hari dari masa Sri Sultan HBVI-VIII. Dibeli pada tahun 1870. Ditarik oleh 4 ekor kuda.

15. Kareta Kyai Wimono Putro.
Dibeli pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VI tahun 1860. Dipergunakan pada saat upacara pengangkatan putra mahkota. Kondisinya masih asli (warna kayu). Ditarik oleh 6 ekor kuda.

16. Kareta Kyai Manik Retno
Dibeli pada masa pemerintahan Sri Sultan HB IV tahun 1815, buatan Belanda. Merupakan kareta untuk pesiar Sultan bersama permaisuri. Ditarik oleh 4 ekor kuda.

17. Kareta Kanjeng Nyai Jimad.
Merupakan pusaka Kraton, buatan Belanda tahun 1750. Asli-nya hadiah dari Spanyol yang pada saat itu sudah memiliki hubungan dagang dengan pihak kerajaan. Dipergunakan sebagai alat transportasi sehari-hari Sri Sultan HB I – III. Ditarik oleh 8 ekor kuda. Kondisi seluruhnya masih asli. Per kareta terbuat dari kulit kerbau. Setiap bulan Suro setahun sekali dilakukan upacara pemandian. Air yang dipergunakan untuk membersihkan kareta banyak yang memperebutkan.

18. Kareta Mondro Juwolo
Ini adalah kareta yang dulunya dipakai oleh Pangeran Dipenogoro. Cat-nya diperbarui pada saat diadakannya Festival Kraton Nusantara. Buatan Belanda tahun 1800. Ditarik oleh 6 ekor kuda. Fungsinya adalah sebagai alat transportasi.

19. Kareta Garudo Yeksa.
Kareta buatan Belanda tahun 1861 pada masa Sri Sultan HB VI. Kareta ini dipergunakan untuk penobatan seorang Sultan. Ditarik 8 ekor kuda yg sama (warna, kelamin). Dilakukan upacara pemadian setiap setahun sekali setiap dibulan Suro. Disebut juga sebagai Kareta Kencana (kareta emas). Semuanya yang ada di kareta ini masih asli termasuk simbol/lambang Burung Garuda-nya yang terbuat dari emas 18 karat seberat 20kg. Hanya digosok atau dibersihkan pada saat akan ada upacara penobatan karena kalau terlalu sering digosok emasnya akan terkikis. Konon sekitar 6-7gram emas akan hilang setiap kali digosok/dibersihkan. Bentuk mahkota-nya yang terbuat dari kuningan dengan puncaknya berbentuk seperti Tugu Monas karena konon Soekarno memang menggunakan bentuk mahkota ini untuk membuat desain Tugu Monas. Design kareta datang dari Sri Sultan HB I. Uniknya apabila pintu kareta dibuka maka akan ada tangga turun dengan sendirinya seperti yang sering dijumpai pada pintu-pintu pesawat terbang. Pengendali kuda hanya 1 orang. Kareta ini masih dipakai sampai sekarang.

20. Kareta Landower Wisman.
Dibeli dari Belanda pada tahun 1901 pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII dan direnovasi pada tahun 2003, Dipergunakan sebagai sarana transportasi pada saat melakukan penyuluhan pertanian. Ditarik oleh 4 ekor kuda.

21. Kareta Landower Surabaya.
Kareta ini sudah dipesan dari masa Sri Sultan HB VII dan baru bisa dipakai pada saat masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII. Kareta ini buatan Swiss dan dipergunakan sebagai sarana transportasi penyuluhan pertanian di Surabaya.

22. Kareta Landower
Kareta ini buatan Belanda jaman pemerintahan Sri Sultan HB VIII pada tahun 1901. Ditarik oleh 4 ekor kuda.

23. Kyai Noto Puro.
Kareta ini buatan Belanda pada masa pemerintahan Sri Sultan HBVII yang aslinya dipergunakan untuk manggala yudha atau dalam peperangan. Bentuk fisiknya sudah mengalami renovasi. Ditarik oleh 4 ekor kuda.

Beberapa Foto Kereta Kraton :
















Kereta Laundauwer
















Kereta Kyai Roto Biru
















Kereta Kyai Permili


















Kereta Kyai Kuthokaharjo














Kereta Kyai Jongwiyat















Kereta Kyai Harsunobo














Kereta Kyai Djetayu












Kereta Kyai Coupe Driekwart 1900















Kereta Kyai Bedoio Permili
















Kereta Jenazah Roto Praloyo 1910














Kereta Kanjeng Nyai Jimat 1740-1750
















Kereta Kyai Garudayaksa

Sumber di ambul dari http://jogjakini.wordpress.com/


Dipostkan kembali oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/