Kota Gede Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam

 
Semula, Kotagede adalah nama sebuah kota yang merupakan Ibukota Kerajaan Mataram Islam. Selanjutnya kerajaan itu terpecah menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Wilayah Kecamatan Kotagede sebagian merupakan bagian dari bekas Kota Kotagede ditambah dengan daerah sekitarnya.

Sedangkan bagian lain dari bekas Kota Kotagede berada di wilayah Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Kondisi seperti itu kadang-kadang menyulitkan untuk membangun Kotagede dalam konteks sebagai bekas Kota yang masyarakatnya mempunyai kesatuan sosiologis dan antropologis. Sampai sekarang masyarakat bekas Kota Kotagede dalam kegiatan sosial sehari-hari masih sangat solid dalam kesatuan itu. Kesulitan pembangunan oleh pemerintah muncul ketika penanganan dilakukan oleh stake-holder pemerintah di tingkat Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Pemerintah Kota Yogyakarta hanya mampu menyentuh wilayah bekas Kota Kotagede yang masuk wilayah Kota Yogyakarta. Demikian juga Pemerintah Kabupaten Bantul hanya bisa meneyentuh wilayah yang masuk Kabupaten Bantul.

Soliditas masyarakat tersebut mewujudkan sebuah kesatuan wilayah yang tak terpisahkan sebagaimana dulu batas wilayah Kota Kotagede ini masih eksis. Wilayah bekas Kota Kotagede harus ditangani oleh dua unit Pemerintah yang berbeda. Dalam konteks otonomi daerah sekarang ini, ketika kewenangan tingkat Kabupaten dan Kota relatif besar, makin terasakan betapa mereka harus menghadapi 2 (dua) kebijakan yang berbeda untuk satu kesatuan wilayah tersebut. Salah satu contoh permasalahan yang segera dapat dilihat atau dirasakan masyarakat adalah bila menyangkut penanganan kawasan heritage. Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul mempunyai perbedaan prioritas. Maka masyarakat Koatagede harus atau lebih sering berinteraksi dengan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.




Sebagai kota tua bekas Ibukota kerajaan, Kota Kotagede merupakan kota warisan (heritage) yang amat berpotensi bagi kemakmuran masyarakatnya. Namun hambatan pembagian wilayah pemerintahan akan terus menjadi permasalahan yang tak pernah dibahas dalam tingkat kemauan politik, kecuali masyarakatnya menghendaki.

Suasana tradisional masih sangat terasa di kota ini, misalnya terlihat di Komplek Mesjid Agung Kotagede yang terasa masih seperti di lingkungan Kraton, dimana lengkap dengan pagar batu berelief mengelilingi mesjid, pelataran yang luas dimana terdapat beberapa pohon sawo kecik, serta sebuah Bedug berukuran besar yang umurnya sudah sangat tua, setua Mesjid Agung Kotagede sendiri.

Kotagede ini adalah sebuah kota lama dari abad ke 16 yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Mataram Islam, yang didirikan oleh Ki Gede Pemanahan. Sekarang tinggal sedikit barang peninggalan dan bangunan penting Mataram Islam yang masih tersisa di kota tua ini. Beberapa di antaranya adalah  :
  1. Makam kerabat Pangeran Senopati,
  2. Dinding dan fondasi salah satu pendapa (ruang depan kerajaan),
  3. Sendang Selirang (sendang kakung dan sendang putri) sebuah kolam tempat mandi keluarga kerajaan.
Ketiga peninggalan sejarah ini terletak di dalam suatu halaman tertutup, bersama dengan masjid keraton Kotagede, di sekitar 200 m ke arah selatan pasar tradisional Kotagede.Pemakaman dibuka untuk umum setiap Senin dan Kamis dari pukul 10.00 sampai 12.00 dan Jumat pada pukul 13.00 – 15.00. Para pengunjung harus mengenakan pakaian tradisional Jawa: batik. Pakaian ini disewakan di lokasi tersebut.
Kotagede atau yang juga sering disebut Kota Perak ini dahulu menjadi ibukota Kerajaan Mataram hingga tahun 1640. Setelah itu raja ketiga Mataram Islam, Sultan Agung memindahkan ibukota ke Desa Kerto, Plered-Bantul. Ibukota baru ini terletak sekitar 6 km di sebelah barat Kotagede. Menurut ceritanya, pemindahan ini dengan alasan untuk mendapatkan kekuatan dan kejayaan yang lebih besar secara mistis.

Berikut beberapa foto bangunan peninggalan Kota Gede :
 




 

Sumber Foto by http://pemburufotoalam.blogspot.com

Konsep Kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono X


Peradaban Jawa klasik pada jaman Sultan Agung menyimpan kekayaan hikmat tentang kepemimpinan. Dalam Serat Nitripraja terdapat uraian tentang moralitas kekuasaan, kewajiban-kewajiban moral para pemimpin, etika atasan-bawahan, prinsip hubungan rakyat dengan pemerintah, dan sebagainya (Purwadi, 2007). Dalam Serat Suryaraja yang diluncurkan pada awal abad 18, dijelaskan empat gatra kepemimpinan oleh Sultan Hamengku Buwono (Meneguhkan Tahta untuk Rakyat, 1999). Gatra yang pertama adalah perinsip amulatjantra yang berarti peka terhadap alam sekelilingnya. Gatra yang kedua adalah  perinsip pandamprana yang berarti  intelek dan transparan. Perinsip yang ketiga adalah perinsip sundaracitra yang berarti agung dan lembut dalam menjatuhkan hukuman. Perinsip yang keempat adalah perinsip dayakuwerakawulo alit. yang berarti berkorban dengan berpihak kepada kawulo alit/rakyat kecil.

Konsep kepemimpinan dikembangkan semakin komprehensif pada jaman HB VII. Seorang pemimpin harus mempunyai visi dari Tuhan (wahyu cakraningrat) dan bersikap adil serta murah hati kepada rakyat (berbudi bawa leksana ambek adil para marta). Seorang pemimpin harus peka terhadap kritik sesuai perinsip dupak bujang, esem bupati, dan sasmita narindra (Purwadi, 2007). Kelas bujang (buruh, bawahan, pelayan) harus ditegur keras karena tingkat kecerdasannya rendah. Namun, semakin tinggi jabatan seharusnya semakin peka. Seorang bupati cukup diberi senyuman (esem) dan harus langsung mengerti makna kritik dibalik senyuman itu (smile meaningfully). Raja harus lebih peka. Ia harus bisa memahami hal-hal yang sifatnya simbolik karena halus budi bahasanya (tanggap ing sasmita).

Pada waktu Sri Sultan HB X naik tahta atau jumenengan dalem (7 Maret 1989), ia menyampaikan ”Lima Tekad Dasar” kepemimpinan. Lima perinsip ini bukan hanya menjadi sebuah komitmen pribadi, tetapi juga menjadi sebuah komitmen untuk membangun peradaban yang tinggi.
  • Tekad pertama adalah tidak mempunyai prasangka, rasa iri dan dengki serta tetap hangrengkuh kepada siapa pun, baik terhadap mereka yang senang maupun yang tidak senang, bahkan juga terhadap yang menaruh rasa benci.
  • Tekad kedua adalah lebih banyak memberi jika dibandingkan dengan menerima.
  • Tekad ketiga adalah tidak melanggar paugeran Negara.
  • Tekad keempat adalah berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
  • Tekad kelima adalah tidak memiliki ambisi apapun, selain senantiasa berusaha bagi kesejahteraan rakyat.

SIKAP KONSISTEN SEORANG REFORMATOR
Oleh Haryadi Baskoro
Artikel Opini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (13 April 2007)
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X menyatakan bahwa dirinya tidak akan bersedia lagi menjadi Gubernur DIY. Beliau berkata, ”Dengan tulus iklas, saya menyatakan tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Propinsi DIY setelah pada purna masa jabatan 2003-2008 nanti” (KR, 8 April 2007).

Pernyataan sikap itu disampaikannya dalam sebuah momen yang cukup penting. Statement bersejarah itu diutarakannya saat berorasi dalam acara ”Malam Bhakti Ibu Pertiwi” yang diadakan di Pagelaran Kraton. Pada perhelatan yang dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh kebudayaan ini, Sri Sultan menerima penghargaan ”Saya Bangga menjadi Orang Indonesia” dari Anand Krishna. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Sri Sultan bersikap sangat serius dengan statement-nya itu.

Pernyataan sikap HB X ini menambah hangat perbincangan tentang keistimewaan Yogyakarta. Ketika diskusi belum juga tuntas, saat perjuangan ke tingkat pusat masih panjang, Sri Sultan menyatakan sikap yang bisa menjadi kontroversi. Orang Jogja pun bertanya-tanya, mengapa gerangan Sri Sultan HB X menyatakan sikap ini? Orang Jogja mulai menebak-nebak dan mencoba berspekulasi.

Tolak Jabatan Seumur Hidup
Pernyataan sikap HB X di atas mengingatkan kita pada penegasan beliau untuk menolak jabatan gubernur seumur hidup. Harian KR tanggal 6 September 1998 menorehkan sebuah judul berita ”Sultan Tolak Gubernur Seumur Hidup: DPRD DIY Tak Perlu Lagi Konsultasi ke Jakarta”. Artinya, selang 9 tahun setelah penegasan itu, HB X tetap konsisten.
Penegasannya pada waktu itu diberikan berkaitan dengan akan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres). Pada masa kepemimpinan B.J. Habibie saat itu, akan dibuat sebuah Kepress yang salah satu bagiannya memuat materi tentang penegasan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak ingin menjadi gubernur seumur hidup.

Prinsip konsisten dalam perkataan ini layak diapresiasi. HB X rupanya sangat menghargai keteladanan ayahandanya. Sri Sultan HB IX mempunyai konsep kepemimpinan yang menekankan prinsip-prinsip kesetiaan pada janji, ketabahan, kekokohan, toleransi, dan perbuatan sosial yang baik. Prinsip-prinsip itu diekspresikan dalam tarian Bedhaya Sang Amurwabumi yang diciptakan oleh HB X. Sepertinya, HB X juga berkomitmen untuk senantiasa menunjukkan kesetiaan atas setiap janji yang telah diucapkannya sendiri.

Reformasi
Ketegasan HB X pada tahun 1998 dalam hal menolak untuk menjadi gubernur seumur hidup tidak lepas dari semangat reformasi pada masa itu. Sosiolog Selo Soemardjan mengatakan bahwa HB X adalah sosok pemimpin yang berani melawan tradisi kepemimpinan Orde Baru. Pada waktu Soeharto masih berkuasa, HB X menyatakan diri mendukung gerakan reformasi. Ketika Soeharto berkeinginan menjadi penguasa kekal, HB X menolak gagasan tentang pemimpin seumur hidup.

Pada masa reformasi 1998, HB X tampil menjadi salah seorang tokoh reformator. Menjelang runtuhnya rezim Orde Baru, seluruh rakyat bergolak. Tanggal 15 Mei 1998, gelombang aksi mahasiswa di Yogya bergelora dan mulai cenderung anarkis. Mereka merusak show room mobil Timor dan gedung Bank Tamara. Di tengah massa yang beringas itu, HB X muncul mengendalikan situasi. Rakyat pun menjadi tenteram. Tanggal 20 Mei 1998, ratusan ribu rakyat Yogya berkumpul di alun-alun kraton. Dalam kegiatan spontan yang dikenal sebagai pisowanan ageng itu, HB X memberi orasi yang mendukung gerakan reformasi. Kantor berita Inggris, Reuters, menyatakan bahwa HB X tenyata masih disegani rakyat dan mempunyai peran strategis yang berdampak luas.

Mengenai gaya kepemimpinan Soeharto, HB X berani memberi kritikan yang sangat tajam. Dalam buku ”Meneguhkan Tahta untuk Rakyat” ditulis bahwa HB X menyinggung gaya kepemimpinan Soeharto yang cenderung membenarkan dirinya sendiri. Menurutnya, Soeharto memakai konsep mikul dhuwur mendhem jero untuk membenarkan sikap memaafkan pemimpin yang korup dan mendiamkan saja pemimpin yang bersalah. Semua keburukan pemimpin harus dipendam dan tidak boleh diungkit-ungkit. Soeharto telah membuat rakyat mendukung dirinya tanpa bersikap kritis.

Jelas bahwa HB X ingin menjadi figur pemimpin yang demokratis. Pemimpin tidak boleh memaksakan kekuasaannya. Kalau pemimpin sudah tidak dianggap mampu dan tidak bisa mengikuti perubahan, selayaknya dia mengundurkan diri. HB X pernah berkata, ”Kalau aku wis tuwo, arep dinamis, apa maneh” (KR, 6 September 1998).

Kalau sekarang HB X menyatakan niatnya untuk mundur setelah masa jabatannya selesai (2003-2008), itu merupakan bentuk konsistensi sikapnya sebagai seorang reformator. Ketika banyak tokoh reformator lain bersikap mencla-mencle dan oportunis setelah memperoleh posisi, HB X tetap konsisten. Setelah hampir 10 tahun reformasi bergulir, rupanya HB X masih tetap sama.

Lima Tekad Dasar
Penegasan HB X untuk tidak mau menjadi gubernur lagi rupanya juga menunjukkan sikap konsistennya sebagai Sultan. Jika HB IX menyatakan garis politik ”tahta untuk rakyat”, HB X bertekad untuh meneguhkan pendirian tersebut. Ketika HB X dinobatkan pada tanggal 7 Maret 1989, komitmennya pada semangat kerakyatan diucapkannya dalam pidato ”Tahta untuk Kesejahteraan Sosial dan Budaya Rakyat”.

Dalam pidato jumenengan itu, beliau menyampaikan 5 tekad dasar Sri Sultan HB X. Pertama, untuk tidak mempunyai prasangka, rasa iri dan dengki serta untuk tetap hangrengkuh siapapun, baik terhadap mereka yang senang maupun yang tidak senang, atau bahkan juga terhadap yang menaruh rasa benci sekalipun. Kedua, untuk lebih banyak memberi daripada menerima. Ketiga, untuk tidak melanggar paugeran negara. Keempat, untuk berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah memang benar-benar salah. Kelima, untuk tidak memiliki ambisi apa pun, selain berusaha hanya bagi kesejahteraan rakyat.

Jadi, pernyataan sikap HB X perihal ketidakbersediaan menjadi gubernur lagi itu merupakan sikap konsisten dirinya. Sekali berkata tidak maka tetap tidak. Di depan segenap rakyat, beliau telah berjanji untuk tidak haus akan kekuasaan. Setelah gerakan reformasi bergulir dan ia menjadi salah seorang tokohnya selama ini, HB X berusaha untuk tetap konsisten dengan pendiriannya semula: ”tahta untuk kesejahteraan sosial dan budaya rakyat”. God bless our Sultan.

KEPEMIMPINAN VISIONER SRI SULTAN HB IX
Oleh Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo
Artikel Opini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (12 Januari 2008)
Apresiasi atas kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sangat tepat untuk konteks Yogyakarta yang sedang bergumul dengan keistimewaannya maupun untuk konteks Indonesia yang sedang mengalami krisis kepemimpinan. Sukses untuk Sunardian Wirodono yang menggarap profil HB IX (film dokumenter) bersama Perpustakaan Pemerintah Daerah DIY. Salut untuk UGM yang telah menggelar orasi budaya untuk mengenang HB IX pada tanggal 29 Desember 2007 silam.

Salah satu karakteristik kepemimpinan HB IX yang bisa kita teladani, yang kebanyakan pemimpin di negeri ini miskin dalam kapasitas ini, adalah keunikannya sebagai seorang visioner. Kamus Oxford (Concise Oxford English Dictionary) mendefinisikan visi (vision) sebagai kemampuan untuk memikirkan atau merencanakan masa depan melalui kemampuan berimajinasi atau kearifan (the ability to think about or plan the future with imagination or wisdom).

Pemimpin efektif haruslah seorang visioner. Ia bukan sekedar terampil membuat perencanaan masa depan, tetapi merancangnya berdasar hikmat yang kreatif. Ia seperti seorang penemu dalam IPTEK, tak sekedar pandai. Menurut riset Dr Mir Anaesuddin, 99 persen penemuan ilmiah terjadi melalui ilham (inspirasi), misalnya Newton yang menemukan teori gravitasi pada saat duduk termenung dan tiba-tiba buah apel jatuh tepat di depannya. Pendidikan tinggi tak menjamin seseorang menjadi visioner. Untuk memangkap ”wahyu illahi”, seorang perlu memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.

Seorang Futuris
Seorang pemimpin, yaitu seorang yang diikuti dan menjadi panutan, harus berpikiran lebih maju minimal 10 tahun di depan para pengikutnya. Pemimpin adalah seorang perintis jalan. Dengan kemampuan bepikir futuristik seperti itu, seorang pemimpin bisa menetapkan tujuan dan membuat perencanaan untuk mencapainya.

Meramalkan masa depan tak hanya butuh analisis ilmiah, namun kecermatan spiritual yang berakar pada nurani yang murni dan kedekatan kepada Sang Khalik. Ketika GRM Dorodjatun (Henkie) akan naik tahta menjadi Sri Sultan HB IX, gubernur Belanda Lucien Adam menyodorkan sebuah perjanjian (politiek contract) yang isinya cenderung menguntungkan pihak kolonialis. Sebagai seorang nasionalis sejati, HenkieHenkie mendapat inspirasi berupa bisikan gaib (wisik), ”Tole tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene” (Nak, tanda tangani saja kontrak itu sebab Belanda akan pergi dari daerah ini). Benar, dua tahun setelah Henkie menandatangani perjanjian itu (1940) dan kemudian naik tahta (jumenengan dalem), Belanda pergi dari bumi pertiwi sebab Jepang datang menjajah Indonesia (1942). berkeberatan sehingga proses perundingan mejadi alot dan lama (November 1939 – Februari 1940). Tetapi, saat sedang tiduran sore di suatu senja di bulan Februari 1940, tiba-tiba Henkie mendapat inspirasi berupa bisikan gaib (wisik), ”Tole tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene” (Nak, tanda tangani saja kontrak itu sebab Belanda akan pergi dari daerah ini). Benar, dua tahun setelah Henkie menandatangani perjanjian itu (1940) dan kemudian naik tahta (jumenengan dalem), Belanda pergi dari bumi pertiwi sebab Jepang datang menjajah Indonesia (1942).

Visi-visi atau ide-ide kreatif seringkali muncul sebagai sesuatu “anugerah yang tiba-tiba”. Ahli kimia Jerman Freidrich August Kekule menemukan ide brilyan tentang struktur molekul “benena” ketika ia sedang tidur-tidur ayam di depan perapian. Para ahli mengatakan bahwa tidur, bersantai, bermenung, bersemadi, berdoa, dan berzikir memicu munculnya gelombang-gelombang elektromagmetik di otak yang memicu munculnya ide-ide kreatif. Pemimpin yang dekat dengan Tuhan, karib dengan Tuhan, akan dianugerahi visi-visi kreatif yang brilyan.

Bukan Oportunis
Seorang pemimpin visioner, dengan kemampuannya melihat jauh ke depan, tentu mampu melihat peluang-peluang. Ketika orang lain pesimis dan takut akan masa depan, seorang visioner mampu melihat kemungkinan-kemungkinan yang tak terpikirkan. Dalam hal inilah kedewasaan karakternya teruji. Seorang visioner yang hanya diliputi oleh ”pikiran bisnis” akan menjadi oportunis manakala melihat peluang-peluang itu.

Terbukti bahwa HB IX bukan visioner oportunis. Setelah mendapat inspirasi yang menunjukkan adanya peluang untuk berkuasa karena Belanda segera pergi, HB IX segera menandatangani kontrak itu. Namun, setelah benar penjajah pergi, HB IX bersama Paku Alam VIII justru bergabung dengan NKRI. Bukankah beliau berdua bisa mendirikan nagari Mataram? Peluang itu sangat besar, bahkan Belanda memberi tawaran untuk mengangkat HB IX sebagai Wali Nagari atas Jawa dan Madura.

Kini, banyak pemimpin mengaku dirinya visioner, tetapi sebenarnya oportunis. Mereka bahkan sangat piawai dalam mempresentasikan visi-misi, entah lewat pidato, buku, surat kabar, sampai pembuatan video klip yang ditayangkan di layar kaca. Baik itu caleg, cabup, cagub, maupun capres, semua pandai mengobral janji. Kenyataannya, setelah peluang menghampiri mereka, ketamakanlah yang muncul. HB IX mempunyai segala peluang untuk berkuasa, tetapi ia bukan seorang oportunis.

Visi untuk Bangsa
Visi sejati tidak pernah egosentris. Visi yang ditangkap dan dijalani HB IX tidak berpusat pada kepentingan diri sendiri, bahkan tak semata-mata untuk kepentingan Yogyakarta. Visi HB IX membawa beliau berjuang untuk NKRI. Kalaupun kemudian Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa, itu merupakan konsekuensi historis karena kontribusi visionernya bagi NKRI.

Tahun pembangunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat yaitu tahun Jawa 1682 (sama dengan tahun Masehi 1756) diberi makna simbolik oleh Sultan HB I sebagai ”dwi naga rasa tunggal” (dua naga bersatu). Ternyata, simbol angka itu dapat dibaca sebagai ”dwi nagara satunggal” (dua negara satu adanya). Artinya, HB I mempunyai visi bahwa meskipun Mataram sudah pecah menjadi dua (Yogyakarta dan Solo), tetap satu adanya.

Ratusan tahun kemudian, Visi HB I itu dihayati dan dipegang betul oleh HB IX. Namun, kesatuan negara yang digagas HB IX lebih besar, yaitu NKRI. Kraton Mataram Yogyakarta bersama segenap rakyat harus berjuang untuk NKRI. Untuk visi akbar tersebut, HB IX meyakini bahwa itu akan terjadi pada tahun Jawa 1881 atau tahun Masehi 1950. Sejak tahun 1945, HB IX mengendarai mobil dengan plat nomor khusus ”AB 1881”. Ke mana saja beliau bepergian, ke desa-desa, ke kota-kota, dan bolak balik Jakarta-Yogya, plat nomor itu menjadi sangat populer. Orang Belanda menyebutnya ”een-acht-acht-een” (satu-delapan-delapan-satu).

Dalam simbolisasi Jawa (candrasengkala), tahun 1881 dapat dimaknai sebagai “manunggaling sarira mangesti Gusti” (dengan tubuh yang satu dapat memuliakan Tuhan). Apa yang terjadi pada tahun Jawa 1881 atau tahun Masehi 1950 itu benar-benar merupakan perwujudan visi kesatuan bangsa. Pada tanggal 15 Agustus 1950, dalam rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS (Republik Indonesia Serikat), Presiden RIS Soekarno membacakan Piagam terbentuknya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)!

Kepemimpinan HB IX adalah kepemimpinan visioner yang tidak sempit, apalagi egosentris. Demikianlah dicari di negeri ini para pemimpin visioner yang benar-benar berjiwa nasionalis. Visinya bukan sebatas untuk kepentingan golongan, kelompok, suku, ras, atau agama tertentu.

KECERDASAN SPIRITUAL PARA SULTAN
Oleh : Haryadi Baskoro
Artikel Opini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (17 April 2007)
Keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk tidak akan bersedia lagi menjadi Gubernur DIY setelah masa jabatan 2003-2008 sungguh menarik untuk dikaji. Banyak orang mengatakan bahwa itu merupakan sebuah sikap yang penuh hikmat. Di sinilah kenegarawanan beliau teruji. Namun, ada pula yang berkomentar bahwa itu adalah strategi beliau untuk melangkah ke kancah percaturan politik nasional. Yang jelas, pasti ada pemikiran tertentu di balik keputusan kontroversial itu.

Harian KR (8 April 2007) memberikan sekelumit informasi yang mengatakan bahwa keputusan itu merupakan sebuah ketegasan sikap spiritual Sri Sultan HB X. Ditulis demikian, ”Keputusan Sultan tersebut diambil setelah mempertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual memohon petunjuk Allah. Sehingga, keputusan tersebut merupakan ketegasan sikap spiritual yang dituangkan dalam pernyataan sejarah.”

Kepemimpinan para Sultan di Ngayogyokarto Hadiningrat tidak pernah lepas dari spiritualitas. Sri Sultan sendiri mempunyai gelar lengkap Sampeyan Dalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Ngalaga Ngabdul Rahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah. Artinya, disamping menjadi pemimpin secara politik dan kebudayaan, Sri Sultan adalah seorang pemimpin spiritual. Dengan kapasitas ini, keputusan-keputusan raja sedikit banyak memiliki kualitas spiritual.

Dalam era post modern sekarang, perbicangan tentang spiritualitas mendapat apresiasi yang sangat tinggi. Disamping ada konsep tentang kecerdasan intelektual (IQ) dan konsep tentang kecerdasan emosional (EQ), sekarang juga dikembangkan konsep tentang kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Menurut Paul G. Stoltz, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk merasa, memahami, dan menemukan bagian yang lebih tinggi dari diri kita, dari orang lain, dan dari dunia sekeliling kita.

Di tengah beragam analisis spekulatif yang berkembang sekarang, kita perlu menjadi arif untuk melihat dimensi spiritual dari keputusan HB X tersebut. Apalagi, beliau sendiri telah mengatakan bahwa keputusan itu merupakan sebuah ketegasan sikap rohani. Agar bisa memahami dan menghargai hal itu, kita perlu melihat bagaimana kecerdasan spiritual para Sultan di masa silam. Kemudian, kita perlu menarik pelajaran berharga untuk kepemimpinan Jogja (dan Indonesia) di masa mendatang.

Visi untuk menjadi Pemimpin
Sri Sultan HB I dikenal dengan kepahlawanannya. Semasa kepemimpinan Paku Buwono II (1727-1749), Belanda melumpuhkan kedaulatan Mataram. Dengan Perjanjian Ponorogo (1743), Belanda merebut daerah-daerah pelayaran dan perdagangan Mataram. Sejak 11 Desember 1749, Mataram menyerahkan kedaulatannya ke tangan Belanda. Namun, Pangeran Mangkubumi berontak dan berjuang melawan penjajah. Sampai tahun 1752, sebagian besar Mataram kembali direbut dari Belanda. Akhirya, P. Mangkubumi memperoleh sebagian wilayah Mataram melalui Perjanjian Giyanti (1755). Sejak itu, beliau mendirikan Kasultanan Jogjakarta dan menjadi Sri Sultan HB I (1755-1792). Pemerintah tanpa ragu menetapkan Sri Sultan HB I sebagai pahlawan nasional (Keppres No. 085/TK/2006/tanggal 3 November 2006).
Sri Sultan HB I juga dikenal sebagai raja dengan multi kapasitas. Beliau menguasai ilmu pemerintahan, ilmu kemiliteran, filsafat, seni, dan arsitektur. Beliau adalah arsitek dari bangunan kraton yang tetap berdiri kokoh hingga sekarang. Dalam hal olah rohani, HB I sering melakukan tapa brata. Ketika bersamadi di desa Beton, beliau mendapat wahyu illahi untuk menjadi pemimpin yang memberi pengayoman kepada rakyat. Kepemimpinan HB I dimulai dan didasarkan pada visi spiritual yang kuat.

Petunjuk Illahi berupa Wisik
Siapa tak kenal Sri Sultan HB IX? Kenegarawanan dan kepahlawanan beliau tidak perlu disangsikan lagi. Tokoh nasional ini pernah menjabat posisi-posisi penting di republik ini, mulai dari Menteri Pertahanan, Wakil Perdana Menteri, dan Wakil Presiden. Semasa revolusi kemerdekaan, HB IX memainkan peranan kunci. Setelah Proklamasi 1945, HB IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan mendukung dan bergabung dengan Republik Indonesia. Ketika kondisi perjuangan sangat kritis, Jogja merupakan benteng terakhir dengan menjadi ibukota RI. Saat dunia internasional meminta bukti eksistensi RI, Jogja menyodorkan Serangan Omoem 1 Maret 1949 yang spektakuler itu. Belanda sempat memberi iming-iming untuk mengangkat HB IX menjadi Wali Negara yang berkuasa atas Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam rangka Negara Federal yang direncanakan Belanda. Namun, HB IX memilih untuk memperjuangkan Indonesia.

HB IX adalah seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual. Ketika GRM Dorodjatun atau Henkie akan naik tahta menjadi Sri Sultan HB IX, gubernur Belanda Lucien Adam menyodorkan sebuah perjanjian (politiek contract) yang isinya cenderung menguntungkan pihak kolonialis. Sebagai seorang nasionalis sejati, Henkie keberatan sehingga proses perundingan mejadi alot dan lama (November 1939 – Februari 1940). Padahal, Lucien Adam adalah seorang ahli kebudayaan Jawa yang cerdik dalam melakukan lobi-lobi. Tetapi, saat sedang tiduran sore di suatu senja di bulan Februari 1940, tiba-tiba Henkie mendengar bisikan gaib (wisik), ”Tole tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene” (Nak, tanda tangani saja kontrak itu sebab Belanda akan pergi dari daerah ini). Benar, dua tahun setelah Henkie menandatangani perjanjian itu (1940) dan kemudian naik tahta (jumenengan dalem), Belanda pergi dari bumi pertiwi sebab Jepang datang menjajah Indonesia (1942). Benar-benar sebuah keputusan brilyan!

Laku Puasa untuk Reformasi
Dalam buku ”Meneguhkan Tahta untuk Rakyat” diceritakan bahwa Sri Sultan HB X melakukan tindakan spiritual menjelang akhir masa Orde Baru. HB X mengatakan, ”Jika pemimpin tak benar, kewajiban saya adalah untuk mengingatkan. Karena memang kabangetan (keterlaluan), ya tak pasani sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh).” Tepat sebulan setelah masa puasa beliau berakhir (19 April – 19 Mei 1998) dan setelah munculnya maklumat bersama HB X dan Paku Alam VIII, Soeharto tumbang.

Mengenai runtuhnya rezim Orde Baru itu, HB X juga mendapat petunjuk illahi. Setelah berpuasa sebulan, beliau mendapat wahyu: ”yen wis ana laron ewon-ewon ngrubung omah tawon kembar, bakal ana penggede ditinggal nagane”. Artinya, kalau sudah ada gerakan massa rakyat (laron ewon-ewon) di alun-alun kraton Jogja yang memiliki dua pohon beringin (omah tawon kembar), maka akan ada pemimpin besar lengser (ana penggede ditinggal nagane). Kenyataannya memang demikian, setelah pisowanan ageng di Jogja, Soeharto pun turun tahta.

Jadi, kecerdasan spiritual merupakan ciri khas kepemimpinan para Sultan di Jogja. Visi-visi, kebijakan-kebijakan, dan pengambilan keputusan-keputusan merupakan hasil pergumulan rohani yang dalam. Kiranya, pemimpin Jogja dan Indonesia masa depan juga memperhatikan aspek spiritual ini. Tidak hanya mengedepankan pemikiran egoistik dan primordialistik, kepentingan politis, dan keuntungan ekonomi. Pemimpin harus mencari kehendak Tuhan sebelum memutuskan sesuatu demi kebaikan segenap umat.

Sumber terkait :
Artikel ini diambil dari http://kasultananyogya.wordpress.com, tanpa merubah isi/substansinya.