Jamasan Kereta Keraton Yogyakarta


Di Keraton Yogyakarta, benda-benda itu selalu dicuci yang diistilahkan dengan nama ”dijamasi” pada bulan Sura (Muharam) dan selalu pada hari istimewa Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Cara jamasan itu sendiri juga khas. Semua yang terlibat dalam ritual itu harus mengenakan pakaian adat Jawa peranakan. 

Mereka, semuanya laki-laki, mengenakan kain panjang, surjan, dan penutup kepala blangkon. Seperti pada Selasa Kliwon pagi pada bulan April penanggalan Roma, sebuah kereta dijamasi. Kereta ini dibuat pada tahun 1750-an, semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, diberi nama Kanjeng Nyai Jimat. Kereta itu menjadi tunggangan Sultan Hamengku Buwono I – III. Kereta itulah yang setiap bulan Sura selalu dijamasi karena dianggap sebagai kereta cikal-bakal kereta lainnya.

Berbentuk anggun, bergaya kereta kerajaan-kerajaan Eropa, beroda empat, dua buah yang besar di belakang, dan dua buah di depan agak kecil, diperkirakan ditarik oleh enam sampai delapan kuda. Sebuah simbol kewibawaan seorang raja. Kereta yang penuh ukiran itu sendiri memiliki pintu dan atap sehingga mirip mobil.

Kereta itu tersimpan di dalam Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Di sana ada sekitar selusin kereta yang sebagian besar masih bisa digunakan. Setiap Kanjeng Nyai Jimat dijamasi, ”ia” selalu ditemani oleh salah sebuah kereta lain yang dipilih secara bergantian setiap tahunnya.

Pada Selasa kemarin adalah giliran Kyai Puspakamanik, sebuah kereta hadiah dari Kerajaan Belanda yang dibuat pada tahun 1901. Kereta itu menjadi tumpangan para pangeran pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Jamasan dipimpin oleh Kanjeng Raden Tumenggung Kudadiningrat, seorang pejabat keraton yang khusus menangani masalah perawatan kereta.

Berebut Air Bekas Cucian
Jika prosesi sejak akan mengeluarkan kereta saja sudah bernilai wisata, maka ketika proses pencucian kereta itu juga memiliki nilai wisata ritual magis religius. Orang-orang asing akan terheran-heran menyaksikan ratusan orang Jawa, bahkan juga luar Jawa ketika mendengar gaya bicaranya, berebut bekas air cucian kereta dengan cara menampung aliran air dari badan kereta.


Air bekas cucian itu dimasukkan ke dalam botol bekas air kemasan maupun jerigen. Tak ayal lagi, masyarakat yang berebut air itu pun menjadi ikut berbasah-basah. ”Dari dulu saya pasti mengambil air dari jamasan ini. Saya percaya, semua benda dari keraton itu memiliki tuah yang sakti sebab benda-benda ini adalah milik orang sakti. Oleh karena itu dengan membawa air ini, kami berharap, keluarga kami menjadi sakti. Artinya, sehat wal afiat,” tutur Bu Marto Prawiro, istri bekas abdi dalem keraton yang kini tinggal di Piyungan, Bantul.
Ungkapan serupa juga dikatakan oleh Kakek Sastro dari Wates, Kulonrogo. Wajah keriputnya tampak berseri-seri karena ia bisa menampung air sebanyak satu liter dalam botol bekas air mineral. ”Air ini akan saya simpan. Bisa untuk penolak bala, atau bisa juga untuk kesuburan sawah saya,” katanya. Melihat cara warga berebut air, memang tampak lucu. Dua orang nenek dengan berkain panjang dan rambut beruban, nekat membungkukkan badannya di bawah kereta untuk menampung cucuran air bilasan kereta yang diambil melalui pipa air hidran di depan museum. Beberapa orang lain, karena malas berebut air di dekat kereta, langsung menunggu aliran air di parit. Air itu ia ciduk dengan tangannya, diusapkan ke wajah dan rambutnya dengan khidmat.

Mungkin kepercayaan itu yang membawa berkah. Melihat hal itu, beberapa turis berkulit putih tampak terbengong-bengong. Mereka bertanya-tanya kenapa seorang ibu itu tanpa merasa jijik mau menciduk air di got yang sebenarnya kotor itu? Sebenarnya, di samping jamasan kereta, di dalam keraton juga ada jamasan pusaka. Akan tetapi, jamasan pusaka itu tidak boleh dilihat oleh umum. Misteri jamasan pusaka itu sendiri akhirnya memang tinggal misteri yang dipelihara turun-temurun. Semisteri pusaka yang dipercayai memiliki kekuatan supra natural itu sendiri.

Masjid Gede Yogyakarta


Masjid Gedhe Jogjakarta adalah masjid tertua yang dibangun oleh Kerajaan Islam Ngayogyokarto Hadiningrat atau Kasultanan Jogjakarta. Masjid Gedhe dibangun setelah Sri Sultan Hamengku Buwana I selesai membangun kraton baru, sebagai pusat pemerintahan baru hasil dari perundingan Giyanti (13-Februari- 1755 ). Perundinganm Giyanti merupakan penyelesaian akhir konflik internal Kerajaan Mataram akibat intervensi Belanda, sehingga Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat.

Sri Sultan Hamengku Buwana I sebelum jadi raja, ia seorang muslim yang taat mengerjakan sholat, puasa wajib dan puasa senin-kamis. Selain itu, ia juga pemberani dalam ber-amarmakruf-nahi mungkar membersihkan kemaksiatan, menegakkan keadilan dan kebenaran, serta melawan penjajahan. Ketika perang gerilya melawan Belanda, ia mumbuat pos-pos strategis untuk pasukannya dilengkapi dengan Mushola. Oleh karena itu, maka ketika Sri Sultan Hamengku Buwana I jadi raja, maka di samping membangun keraton ia pun juga mengutamakan membangun masjid jamik, sebagai sarana ibadah raja bersama rakyatnya. Dengan demikian, maka pada tahun 1773 M, Sri Sultan Hamengku Buwana I berhasil membangun masjid yang diberi nama awal dengan Masjid Gedhe, kemudian masjid itu dikenal pula dengan nama Masjid Agung, dan Masjid Besar, pada akhir ini ditetapkan sebagai Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun letak Masjid Gedhe di sebelah barat laut Kraton Jogjakarta, juga di barat Alun-alun Jogjakarta.


 Kawasan Masjid Gedhe

Dalam rangka memakmurkan Masjid Gedhe, kepengurusannya dipegang oleh Penghulu Kraton, dibantu oleh Ketib, Modin, Merbot, dan Abdi Dalem Pamethakan serta Abdi Dalem Kaji Selusinan dan Abdi Dalem Barjamangah. Mereka itu sebagian ditempatkan di lingkungan sekitar Masjid Gedhe, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kampung bernama Pakauman ( tempat para Kaum = Qoimmuddin = Penegak Agama ). Dengan demikian Masjid Gedhe menjadi makmur, sebagai pusat berjama’ah dan juga menjadi pusat pengkajian serta pengadilan agama Islam di Jogjakarta.

Tulisan ini menyajikan sejarah ringkas Masjid Gedhe, yang di dalamnya juga dikenalkan berbagai kelengkapan dan fungsinya yang unik salah satu masjid kerajaan di Jawa, Indonesia.

 Bagian Dalam Masjid Gedhe

SEJARAH SINGKAT MASJID GEDHE KAUMAN JOGJAKARTA

Mesjid Gedhe Jogjakarta merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dengan Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat, yang didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I Senopati ing Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ing Ngayogyokarto. Masjid Gedhe didirikan pada tanggal 29 Mei 1773 ( dalam prasasti : Pada hari Ahad Wage, 6 Robiul’akhir tahun Alip, sengkalan :“GAPURA TRUS WINAYANG JALMA” ( 1699 Jw.=1187 H=1773M)
 
Pemrakarsa adalah Sultan dan Kyai Penghulu Faqih Ibrahim Diponingrat, sedangkan sebagai arsiteknya yang terkenal waktu itu Kyai Wiryokusumo.
Oleh karena jamaahnya melimpah, maka pada tahun 1775 dibangunlah Serambi Masjid Gedhe ( didirikan pada: Hari Kamis Kliwon, tanggal 20 Syawwal tahun Jimawal, sinengkalan “ YITNO WINDU RESI TUNGGAL”=1701 Jw. Atau “TUNGGAL WINDU PANDITO RATU”= 1701 Jw.= 1189 H= 1775 M ). Serambi Masjid Gedhe selain dipakai untuk sholat, juga difungsikan sebagai “AL MAHKAMAH AL KABIROH”, yaitu sebagai pertemuan Alim Ulama, Pengajian Dakwah Islamiyah, Mahkamah untuk Pengadilan masalah keagamaan, pernikahan, perceraian, dan pembagian waris. Selain itu juga untuk peringatan hari-hari besar Agama Islam.

Selain Serambi, dibangun pula ”PAGONGAN” ( Pa= tempat, Gong= salah satu instrumen alat musik Jawa Gamelan), letaknya di halaman masjid, di dua tempat yaitu sudut kiri dan sudut kanan halaman. Tempat ini digunakan sebagai tempat peralatan dakwah dengan pendekatan kultural yaitu Gamelan Sekaten, yang dibunyikan pada setiap peringatan Maulid nabi Muhammad Saw. Instrumen musik Gamelan Sekaten ini sangat terkenal dan punya daya tarik pada masyarakat untuk mengenal dan kemudian memeluk agama Islam dengan sukarela. Nama SEKATEN sendiri berasal dari kata ”SYAHADATTAIN” yang berarti dua kalimah syahadat.

Pada tahun 1840 dibangun REGOL MASJID yaitu pintu gerbang yang dikenal sebagai GAPURO, berasal dari kata ”ghofuro” ampunan dari dosa, adapun maksudnya mungkin bila orang memasuki masjid melewati Gapuro, berniat baik memasuki Islam, akan mendapatkan ampunan dosa. Pembangunan regol ini dilakukan pada hari Senin, tanggal 23 Syuro tahun Dal, sengkalan ”PANDITO NENEM SEBDO TUNGGAL” = 1767Jw.=1255 H = 1867 M.
Pada tahun 1867 di Jogjakarta terjadi gempabumi yang cukup dahsyat, yang akibatnya termasuk runtuhnya bangunan Serambi Masjid Gedhe, dan bahkan juga membawa korban termasuk Kyai Pengulu yang menjabat pada saat itu. 

Peristiwa LINDU atau gempabumi itu tercatat pada prasasti yaitu pada hari Senin Wage, pukul 5 pagi, tanggal 7 Sapar tahun Ehe, sengkalan ”REBAHING GAPURA SWARA TUNGGAL” = 1796 Jw.=”WARNA MURTI PAKSA NABI” 1284 H = 1867 M. Namun tidak lama kemudian Sri Sultan Hamengku Buwana VI memberikan kagungan dalem ”SURAMBI MUNARA AGUNG” yang sedianya akan dipakai untuk bangunan pagelaran, kemudian ditempatkan sebagai Serambi Masjid Gedhe. Pemasangannya menurut prasasti ialah : pada hari Kamis Kliwon, pukul 09 pagi, tanggal 20 Jumadilakhir tahun Jimawal”PANDITA TRUS GIRI NATA”= 1797 Jw.”GATI MURTI NEMBAH HING HYANG”= 1285 H = 1868 M. Serambi Masjid Gedhe yang baru ini luasnya dua kali lipat dari serambi sebelumnya yang roboh, serambi yang baru masih utuh sampai kini.
Pada tahun 1917 dibangun gedung PAJAGAN ( Pa= tempat, Jaga = berjaga keamanan ), yang terletak di kanan kiri regol masjid, memanjang ke utara dan ke selatan. Gedung ini digunakan untuk para Prajurit Kraton ( tentara Kraton ), untuk keamanan masjid dan setiap hari besar Islam. 

Pada zaman Revolusi Perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, gedung Pajagan ini digunakan untuk pusat MARKAS ULAMA ASYKAR PERANG SABIL (MU-APS)yang membantu TNI melawan Agresi Belanda.
Pada tahun 1933 atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, lantai serambi masjid yang tadinya dari batu kali diganti dengan tegel kembangan yang indah. Selain itu pula diadakan penggantuian atap masjid, dari sirap diganti dengan seng wiron yang tebal dan lebih kuat. Pada tahun 1936 atas prakarsa Sultan Hamengku Buwana VIII pula diadakan pergantian lantai dasar masjid, yang dulunya dari batu kali kemudian diganti dengan marmer dari Italia.

Pada zaman kemerdekaan Republik Indonesia, Masjid Gedhe juga mendapat perhatian dari pemerintah, yaitu diadakan renovasi dan berbagai bentuk pemeliharaan secara bertahab hingga sampai kini.

TATA RUANG MASJID GEDHE KAUMAN JOGJAKARTA

Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta berbagunan itu tradisional Jawa, yaitu beratap tumpang tiga, dengan mustaka menggambarkan daun kluwih dan gadha. Arti makna atap tumpang tiga ialah tahapan kehidupan manusia dari Hakekat, Syari’at, dan Ma’rifat, kemudian makna daun kluwih adalah Linuwih= punya kelebihan yang sempurna, dan Gadha berarti tunggal= menyembah Tuhan Yang Maha Esa, makna keseluruhan ialah bila manusia sudah sampai Ma’rifat, hanya menyembah kepada Allah Swt. yang Tunggal ( taukhid ), maka manusia itu punya kelebihan kesampurnaan hidup. Dengan demikian siapa saja yang ikhlas ke masjid untuk ibadah kepada Allah Swt., maka akan selamat dunia akhiratnya.

1. Ruang Utama
Adalah ruang inti masjid yang letak lantainya paling tinggi sebagi ruang untuk ibadah sholat terutama rowatib. Ruang inti ini dilengkapi dengan PANGIMAMAN ( tempat imam memimpin sholat /MIHRAB)
MAKSURA ( tempat pengamanan sholat raja ) letaknya di samping kiri belakang mihrab, terbuat dari kayu jati bujur sangkar, beram kotak-kotak, di samping kanan dan kiri terdapat tempat tombak dan di dalamnya berlantai marmer lebih tinggi dari yang di luar.
 
Apabila Sultan berkenan sholat berjamaah di Masjid Gedhe, ia Mengambil tempat di dalam Maksura tersebut. MIMBAR (tempat khotib menyampaikan khotbah jum’at ), terletak di sebelah kanan belakang mihrab. Mimbar dibuat dari kayu jati berhiaskan ukiran indah bentuk ornamen stilir tumbuh-tumbuhan
dan bunga di prada emas. Kewibawaan mimbar ini bagaikan singgasana berundak.
SHAF SHOLAT, ialah garis yang mengatur jamaah sholat agar mengarah
ke arah kiblat, dan lurus serta rapi. Pada mulanya arah sholat lurus ke barat, namun setelah adanya perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata arah kiblat (Ka’bah) agak serong keutara,maka oleh KHA Dahlan dipelopori buat garis shof ke arah kiblat yang sebenarnya. 

2. Pawestren adalah ruangan khusus untuk sholat jama’ah kaum perempuan,
tempatnya di sebelah selatan bangunan inti masjid.

3. Yatihun adalah ruangan khusus untuk istirahat para ulama, khotib, dan mer-
bot. Selain itu juga digunakan untuk musyawarah membicara kan persoalan agama. Tempat ini di samping utara inti masjid.

4. Blumbang ( kolam ), pada awalnya Masjid Gedhe ini dilengkapi kolam me-
lingkar di muka Serambi. Kolam ini lebarnya lebih kurang 8 meter, dengan kedalaman 3 meter, yang berfungsi untuk bersuci dan ber wudlu sebelum masuk masjid. Namun pada saat sekarang ini kolam sekedar hiasan, yang lebarnya tinggal 2 meter, dan dalamnya hanya 0,75 meter melingkar dimuka serambi.

5. Serambi ( beranda ) terletak di sebelah timur bagunan inti masjid, sebagai
tempat sholat bila jama’ah dalam masjid inti penuh. Selain itu juga digunakan sebagai tempat da’wah, pengajian, serta difungsikan sebagai Mahkamah Al Kabiroh. Bila bangunan inti masjid tidak glamour, tiangnya tanpa dicat, dan sedikit sekali ragam hiasnya, sedangkan di serambu terkesan glamour se-
mua tiangnya di cat, terdapat berbagai ragam hias yang dicat warna-warni dan diprada emas. Pada tiang serambi terdapat kaligrafi ” Ar Rahmaan” dan ” Muhammad” yang diujudkan bentuk stilir tumbuh-tumbuhan. Atap serambi bentuk limasan.

6. Benteng Masjid ialah bangunan tembok melingkari masjid. Benteng bagian
muka agak pendek, dan seriap gerbang masuk masjid di kanan kiriya ada hiasan ” Buah Waluh” yang maknanya menye but nama Allah Swt. Supaya selalu ingat pada Allah Swt.

7. Pasucen ialah tempat permulaan suci, letaknya memanjang ke timur, di muka bagian tengah serambi ke arah timur ( seperti doorlop ) menga ke regol. Ini sebagai jalan utama Sultan masuk masjid Gedhe.

8. Pagongan ada dua bangunan di kanan dan kiri bagian dalam plataran masjid
Pagongan ini tempat Gamelan Sekaten yang dibunyikan setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.Yang diadakan oleh Sri Sultan bersama rakyatnya.

9. Pajagan adalah tempat prajurit kraton berjaga keamanan masjid. Gedung ini
terletak memanjang di kanan kiri Gapura. Pada saat ini diguna-
untuk perpustakaan masjid dan tempat pertemuan.

10. GAPURA ( REGOL) adalah pintu gerbang utama memasuki kompleks masjid. Bentuk gapuro iniadalah Semar Tinandu. Melalui gapura ini para ulama meng-Islamkan masyarakat yang hendak me- lihat dan mendengarkan bunyi gamelan di plateran masjid.

Aktivitas Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta

a. Aktivitas rutin setiap Jum’at untuk Sholat Jum’at, kapasitas masjid sekarang
ini sudah penuh, sampai diluar serambi.
b. Pengajian : 

1. Khusus Bahasa Jawa ( setiap habis subuh hari sabtu )
2. Tafsir Al Qur’an ( setiap malam Ahad )
3. Remaja Masjid ( setiap Ahad pagi )
4. Antara Maghrib & Isya’ ( setiap malam Jum’at )
5. Tafsir Kitab Kuning ( setiap malam Sabtu )
c. Peringatan Hari Besar Islam
d. Romadlon : 1. Sholat Tarowih dua kali, sehabis Isya’ dan menjelang sahur
2. Tadarus Al Qur’an dan terjemahannya
3. Takjilan buka bersama untuk 600 orang setiap hari
4. Iktikaf,
5. Kajian Ahad Pagi, dan sebagainya.
e. Insidental : Untuk kegiatan sosial, politik , kebudayaan dan sebagainya,
seperti Do’a bersama dan Sholat Lail untuk perjuangan Islam, baik pada zaman Jepang, Revolusi pisik mempertahankan RI, perjuangan amar makruf nahi mungkar untuk perbaikan dan perubahan pemerintahan ( zaman penumbangan orde lama, zaman reformasi penumbangan orde baru, dan sebagainya.
 
Beberapa kegiatan menerima tamu dari luarnegeri dan dalam Negeri.
Kegiatan pengIslaman bagi orang yang sadar masuk Islam. Kegiatan upacara pernikahan dan walimatu urusy, dan juga Upacara menghantarkan jenzah.


Sumber  http://serambimadina.wordpress.com/

KERATON AMBARKETAWANG : Awal Berdirinya Keraton Kasultanan Yogyakarta

Papan nama "Petilasan Keraton Ambarketawang"

Situs Keraton Ambarketawang terletak di Dusun Tlogo, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, kurang lebih 5 kilometer sebelah barat kota Yogyakarta. Situs ini oleh penduduk setempat sering dinamai dengan beberapa nama yaitu:
(1) Keraton Ambarketawang
(2) Pesanggrahan Ambarketawang
(3) Petilasan Ambarketawang
(4) Beteng Ambarketawang
(5) Keraton Pesanggrahan Ambarketawang, atau
(6) Jagang Ambarketawang.

Pesanggrahan Ambarketawang pada saat ini tinggal menyisakan tembok batu bata, fondasi bangunan, saluran air (urung-urung), sumur kuna, tembok kademangan dan kestalan 'kandang kuda'. Sisa-sisa peninggalan tersebut berada di pekarangan milik Mulyasuganda. Luas pekarangan tersebut lebih kurang 1890 meter persegi.

Banyak ahli menduga bahwa situs Keraton Ambarketawang bukanlah situs bekas keraton seperti pengertian yang sekarang. Situs ini lebih mendekati bentuk benteng pertahanan. Dugaan ini diperkuat oleh bentuk bangunan, bahan bangunan dan diperkuat pula dengan adanya bukit gamping di sisi timur laut yang menjadikan bangunan keraton-benteng ini ini secara alami terlindung. Bukit kapur ini mengalami penggerogotan secara besar-besaran pada zaman pendudukan Jepang dan pada masih sangat produktifnya pabrik gula Madukisma. Kapur di bukit ini telah digunakan untuk proses pembuatan gula. Sedangkan pada zaman Jepang bukit kapur ini ditambang untuk keperlulan bahan bangunan. 

 Bekas pintu Kestalan Keraton Amarketawang

Sri Sultan Hamengku Buwana I

Sultan Hamengku Buwana I adalah putra Sunan Amangkurat IV dengan Bendara Mas Ayu Tejawati. Sultan Hamengku Buwana I adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Bendara Raden Ayu Pringalaya dan adiknya bernama Bendara Raden Ayu Demang Urawan. Menurut Serat Kuntharatama, Sultan Hamengku Buwana I lahir pada tanggal 5 Agustus 1717, pada hari Rabu Pon. Nama kecil Sultan Hamengku Buwana I adalah Bendara Raden Mas Sujana dan setelah dewasa bergelar Bendara Pangeran Harya Mangkubumi.

Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana II itulah terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said yang dibantu oleh Tumenggung Martapura. Hal ini mengancam keselamatan Mataram. Oleh karenanya Sunan Paku Buwana II membuat sayembara yang isinya barangsiapa mampu menaklukkan pemberontak akan diberi hadiah tanah Sukawati. Pangeran Mangkubumi menyanggupi menumpas pemberontakan tersebut. Pangeran Mangkubumi berhasil meredam pemberontakan tersebut, tetapi Patih Pringgalaya iri atas hadiah yang akan diberikan oleh Sunan Paku Buwana II kepada Pangeran Mangkubumi. Persoalan ini akhirnya dilimpahkan oleh Sunan Paku Buwana II kepada Gubernur Jendral Van Imhoff. Mengetahui kejadian tersebut Pangeran Mangkubumi merasa kecewa. Oleh karenanya ia justru berbalik bergabung dengan Mas Said dan Martapura.

Pada tahun 1749 Sunan Paku Buwana II meninggal dunia. Sebelum meninggal Sunan Paku Buwana II menitipkan putra mahkota kepada Belanda dengan disertai surat wasiat (surat perjanjian). Pangeran Adipati Anom akhirnya diangkat menjadi Sunan Paku Buwana III oleh Belanda. Belanda kemudian membagi wilayah Mataram menurut cacah (keluarga). Pembagian wilayah Mataram ini dikuatkan dengan surat perjanjian di sebuah desa yang bernama Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.

Dalam perjanjian tersebut Pangeran Mangkubumi mendapatkan tanah seluas 87.050 cacah yang meliputi:
  1. sebagian Pajang, Mataram, Kedu, dan Bagelen
  2. Banyumas, Kediri, Ponorogo, Jogorogo (sebelah barat Madiun), Blora, dan Wirasaba (Surabaya)
Dalam Perjanjian Giyanti tersebut Pangeran Mangkubumi diakui sebagai raja di negeri Ngayogyakarta Adiningrat dan bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama.
 
Situs Ambarketawang
Situs Ambarketawang terletak sekitar 70 meter di sebelah selatan sisa Gunung Gamping. Peninggalan-peninggalan yang masih nampak pada keseluruhan kompleks situs tersebut di antaranya sisa benteng, sisa bangunan/rumah, dan sisa urung-urung (gorong-gorong).

 Bangunan baru berbentuk pendapa di kompleks Keraton Ambarketawang

Sisa benteng Keraton Ambarketawang yang masih kelihatan berdiri di atas tanah berupa tembok. Sebagian berada di sisi utara, barat, dan selatan. Tembok di sisi timur pada saat ini sudah tidak kelihatan lagi. Tembok-tembok tersebut terbuat dari batu bata dengan ukuran rata-rata 24 x 12 x 5 cm. Ketebalan tembok benteng rata-rata adalah 50 cm. Tinggi tembok benteng sekitar 3 meteran.

Menurut penduduk setempat tembok sisi utara dulunya mengikuti elevasi tanah yang berkaitan dengan bukit kapur di sebelah timurnya. Tembok sisi ini masih tampak dan digunakan sebagai dinding kompleks makam umum. Panjang tembok yang masih kelihatan di atas permukaan tanah adalah 12 meter.

 Sisa tembok sisi barat kompleks Keraton Ambarketawang

Tembok benteng di sebelah barat masih dapat dikenali secara baik. Tembok sisi barat ini memiliki panjang 57,61 meter. Pada dinding di sebelah barat ini terdapat relief sayap burung yang hanya tinggal sebelah saja. Menurut penduduk setempat bagian tengah dari relief tersebut dulunya bergambar gunungan. 

Di bawah relief terdapat sebuah batu dengan tulisan berbunyi "Ki Dipo momong putra" yang diduga sebagai kronogram. Ki (Kyai) melambangkan pendeta/pertapa bernilai 7, dipa berarti pulau dan mempunyai nilai 1. Dipa dapat juga diartikan sebagai dipangga 'gajah' dan bernilai 8. Momong 'mengasuh' bernilai 6 dan putra bernilai 1. Dengan demikian, dapat dibaca 1617 (1693 M) atau 1687 (1716 M). Pada sekarang tulisan tersebut tidak nampak lagi.

 Sisa tembok sisi utara kompleks Keraton Ambarketawang

Tembok benteng di sisi selatan yang sekarang masih tampak panjangnya sekitar 20,20 meter dan ketebalan 0,50 meter, dan tinggi 2,70 meter. Menurut penduduk setempat di tengah ini dulu ada regol. Akan tetapi regol tersebut sekarang sudah tidak tampak. Pada penggalian arkeologi pada tahun 1980 ditemukan fondasi regol tersebut dengan ukuran 6 x 4 cm (berbentuk persegi panjang).

Relief sayap burung yang tinggal sebelah.
Relief terletak di tembok sisi barat kompleks Keraton Ambarketawang

Tembok benteng pada sisi timur seluruhnya dapat dikatakan sudah hancur (tidak kelihatan). Sedangkan fondasinya terpendam di dalam tanah. Dari penggalian arkeologis dapat diketahui bahwa panjang fondasi pada sisi timur ini membentuk formasi arah utara-selatan dengan panjang 40-an meter. 

 Detil relief sayap burung yang tinggal sebelah

Dari penggalian itu pula diketahui bahwa dinding sisi timur ini membelok ke arah barat sekitar 5 meteran kemudian lurus lagi ke arah barat laut sepanjang 9 meter. Dari sini dinding membentuk formasi lurus lagi ke arah barat dengan ukuran panjang sekitar 20 meter. Tembok ini kemudian bertemu dengan tembok benteng di sisi sebelah barat yang membentuk formasi lurus arah utara-selatan. Pada bekas tembok yang mengarah ke barat laut-barat ini sekarang telah dibangun tembok baru dengan menggunakan bahan batako. Ketinggian tembok baru ini 140 cm.

Sisa tembok sisi selatan kompleks Keraton Ambarketawang

Urung-urung/Gorong-gorong
Pada kompleks bekas Keraton Ambarketawang ditemukan juga urung-urung/gorong-gorong. Gorong-gorong yang tampak di atas permukaan tanah mempunyai panjang sekitar 12 meter dengan lebar 1,5 meter dan ketinggian sekitar 40 cm. Penampang urung-urung berbentuk huruf U yang terbalik. Lebar urung-urung sekitar 2 meteran (dihitung mulai dari sisi luar. Ketebalan urung-urung sekitar 1 meter dan ketinggian urung-urung juga 1 meteran. Dinding urung-urung terbuat dari batu yang dipasang melengkung dengan sistem rollaag.

 Sisa urung-urung yang sudah hampir terkubur tanah

Tidak pernah diketahui dengan pasti apa fungsi gorong-gorong ini. Paling tidak ada 3 spekulasi dari fungsi urung-urung ini yakni:
  1. sebagai saluran irigasi
  2. sebagai gudang senjata
  3. sebagai jalan darurat/rahasia untuk merlarikan diri dari serangan musuh.
Sisa Bangunan Keraton Ambarketawang
Di samping temuan-temuan di atas, dalam kompleks situs Keraton Ambarketawang ditemukan juga sisa bangunan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga. Ketiga sisa bangunan yang terbuat dari tembok itu ketinggiannya sudah tidak dapat diketahui lagi karena sudah hancur. Ukuran batu bata yang digunakan untuk membangun bangunan tersebut 24 x 12 x 5 cm.

 Dinding/benteng sisi barat kompleks Keraton Ambarketawang

Sisa Bangunan I merupakan sisa bangunan yang juga terbuat dari batu bata dan letaknya berada pada sisi paling barat (di sebelah barat bangunan pendapa yang baru). Sisa bangunan ini membentuk formasi membujur ke arah utara-selatan sepanjang 8 meteran. Sisa Bangunan I ini mempunyai sudut yang mengarah ke timur. Sudut tersebut mempunyai penampil yang mengarah ke luar. 

 Dinding/benteng sisi selatan kompleks Keraton Ambarketawang

Pada bagian tengah dari Sisa Bangunan I ini terdapat penampil dengan empat undakan 'tangga' ke bawah. Penampil ini terdapat di bagian utara dan selatan. Mata tangga undakan juga yang mengarah ke selatan dan utara. Mata undakan tersebut mempunyai ukuran panjang 60-90 cm, tinggi 10-18 cm,lebar 36-37cm.

 Sisa Gunung Gamping yang dijadikan monumen

Sisa Bangunan II merupakan sisa bangunan yang juga tersusun dari batu bata yang memiliki panjang sekitar 6 meter dan lebar sekitar 1 meteran. Sisa Bangunan II ini terletak di sebelah utara Sisa Bangunan I. Sudut bangunan yang masih tampak pada Sisa Bangunan II ini adalah sudut yang terletak di barat daya dengan ukuran yang sama dengan sudut pada Sisa Bangunan I. 

Pada jarak sekitar dua meteran dari Sisa Bangunan II ini telah dibangun bangunan tertutup berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sisi-sisinya sekitar 3,75 meter. Bangunan baru ini didirikan untuk keperluan bersamadi.
Sisa Bangunan III merupakan sisa susunan batu bata dengan panjang 15 meter membujur arah utara-selatan. Sisa Bangunan III ini membentuk formasi seperti huruf L dengan lebar sekitar satu meteran. Pada sepanjang Sisa Bangunan III ini terdapat sisa lantai tetapi bentuknya sudah tidak teratur. Luas sisa lantai ini kurang lebih 12 meter persegi.

Di samping sisa-sisa peninggalan tersebut juga ditemukan Kestalan dan Kademangan yang masing-masingnya terletak sekitar 100 meter dan 180 meter dari kompleks Keraton Ambarketawang.

Kestalan
Kestalan adalah istilah yang berasal dari istilah dalam bahasa Belanda, istal 'kandang kuda'. Peninggalan yang berupa kestalan ini terletak kurang lebih 100 meter arah selatan dari kompleks Keraton Ambarketawang. Peninggalan tersebut tinggal berupa tembok yang pada saat sekarang telah digunakan untuk dinding rumah salah seorang penduduk. Tembok tersebut mempunyai panjang 9 meteran. Lebar 4,25 meter, tebal 0,5 meter. Pada zaman dulu kestalan ini dilengkapi dengan pagar keliling dengan pintu masuk di sebelah barat.

Kademangan
Situs Kademangan terletak di sebelah barat daya kompleks Keraton Ambarketawang (kurang lebih 180 meter). Sisa peninggalan yang dapat ditemukan sekarang adalah sisa tembok yang telah digunakan untuk pagar rumah penduduk. Tembok yang berada di sebelah utara rumah memiliki panjang 23 meter. Sedang tembok yang berada di sebelah selatan rumah memiliki panjang 26,5 meter. Tebal tembok sekitar setengah meteran. Tinggi tembok di sisi selatan rumah adalah tiga meteran. 

 Bekas pagar tembok Kademangan sisi selatan

Sesuai dengan namanya, Kademangan ini dulunya merupakan rumah kediaman seorang demang. Konon demang tersebut ditugaskan untuk merawat petilasan Keraton Ambarketawang. Pada masa itu ada sebagian tembok Keraton Ambarketawang yag dibongkar untuk digunakan sebagai bahan bangunan rumah dari demang tersebut.


Bekas tembok Kademangan yang telah disatukan dengan dinding rumah baru

Tradisi Upacara Penyembelihan Bekakak
Upacara ini sering disebut juga upacara Saparan karena pelaksanaannya dilakukan pada bulan Sapar sekitar tanggal 10-20. Tanggal dan bulan tersebut diambil agar masanya sesuai dengan peredaran bulan saat purnama. Upacara Saparan dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada arwah Kiai Wirasuta (abdi terkasih Pangeran Mangkubumi) yang meninggal dunia karena tertimpa runtuhan batu gamping ketika ia sedang melakukan tugas penambangan batu gamping di Gunung Gamping. 

Di samping itu juga dimaksudkan sebagai wujud penghormatan kepada beberapa dhanyang seperti Gus Gombak, Gus Kuncung, Gus Kucir, Dara 'merpati' Gamping, dan Gus Besur


Panggung tempat penyembelihan Bekakak

Upacara Penyembelihan Bekakak yang akan disembelih berjumlah dua pasang. Rangkaian sesaji yang berkaitan dengan upacara tersebut di antaranya: dua ekor ayam hidup, telur, cabe, tukon pasar (buah-buahan yang dibeli di pasar), benang (lawe), minyak kelapa (satu botol), dua butir kelapa muda, satu butir kelapa tua. Sesaji dan Bekakak ditempatkan dalam sebuah joli. Pada bagian depan dari joli ini diberi hiasan berupa sepasang kembar mayang dan dua batang tebu wulung lengkap dengan pucuknya. Di samping joli yang berisi dua pasang Bekakak dan perlengkapan sesaji tersebut masih ada lagi sebuah joli lain yang berisi rangkaian sesaji dengan jenis yang sama tetapi dalam jumlah yang lebih banyak lagi. 

Urutan perarakan Bekakak ini adalah sebagai berikut.
  1. pertama, rombongan yang terdiri atas alim ulama yang bertugas mendoakan jalannya upacara agar semuanya selamat
  2. Bekakak dan perlengkapan sesajinya
  3. gunungan
  4. rombongan kesenian jatilan yang dikawal oleh sepasang gendruwo
  5. pengiring yang bersenjatakan tombak
  6. pembawa bende
  7. barisan prajurit keraton yang diperankan oleh para penduduk setempat.
Iring-iringan upacara penyembelihan Bekakak tersebut diberangkatkan dari Kalurahan Ambarketawang. Sesampai di Desa Delingsari sepasang Bekakak disembelih. Sedang sepasang Bekakak yang lain terus dibawa ke barat menuju tempat sisa Gunung Gamping. Pada sebelah utara sisa Gunung Gamping, pada sebuah panggung terbuka Bekakak tersebut disembelih. Darah Bekakak yang terbuat dari juruh 'cairan gula jawa' dipercik-percikkan ke batuan sisa Gunung Gamping. Perlengkapan lain yang berupa rangkaian sesaji dibawa ke pendapa yang didirikan di kompleks Keraton Ambarketawang. Bekakak yang tadi telah disembelih kemudian dipotong-potong dan disebarkan/diperebutkan kepada penonton. Demikian pula dengan perlengkapan yang berupa sesaji juga diperebutkan kepada penonton setelah semuanya selesai diupacarakan.

Menurut penuturan Bapak Sukirno, 69 tahun warga RT 03 RW 27, Dusun Tlaga, Kalurahan Gamping, Kecamatan Ambarketawang, Kabupaten Sleman, sepasang gendruwo yang mengiringi perarakan upacara Bekakak itu bernama Kiai Jasuta dan Kiai Irasuta. Konon nama Jasuta merupakan akronim dari puja 'yang dipuja' dan suta 'anak'. Artinya adalah anak yang selalu menang (di medan perang). Kiai Jasuta ini konon merupakan simbolisasi dari putra Sultan Hamengku Buwana I yang bernama Gusti Raden Mas Sundoro. Ia dilambangkan sebagai seorang anak yang dipuja karena prestasinya mampu menjaga Keraton Ambarketawang dari ancaman musuh. 

Oleh karenanya ia dilambangkan sebagai gendruwo yang siap memangsa siapa pun yang berkehendak buruk di wilayah Ambarketawang. Diceritakan pula tidak boleh ada jago di wilayah Ambarketawang. Hal ini sebenarnya mengandung makna bahwa tidak boleh ada jagoan di wilayah Ambarketawang. Pada waktu itu yang berlaku sebagai jago adalah Belanda, maka apa bila ada Belanda di wilayah itu akan dimangsa oleh Kiai Jasuta ini.

Sedangkan Kiai Irasuta merupakan akronim dari prawira 'perwira' dan suta 'anak'. Hal ini dimaksudkan sebagai simbolisasi dari putra menantu Sultan Hamengku Buwana I, yakni Raden Mas Said (Mangukenagara I). Oleh karena kelihaiannya dalam memerangi musuh ia mendapatkan nama Kiai Irasuta yang dilambangkan dengan perwujudan gendruwo yang selallu siap sedia menjaga wilayah Ambarketawang.

Tim TeMBI: Ons Untoro, Agus P Herjaka, Didit Priya Daladi, Sartono Kusumaningrat
Foto: Didit Priya Daladi
Teks: Sartono Kusumaningrat

 
Sumber : www.tembi.org

Sejarah Tugu Yogyakarta


Tugu Yogjakarta merupakan landmark dari Kota Yogyakarta yang paling terkenal. Monumen tersebut berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta.

Tugu Yogjakarta kira-kira didirikan setahun setelah Kraton Yogyakarta berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig.



Secara rinci, bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas. Bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar sementara bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu pada awalnya mencapai 25 meter.

Semuanya berubah pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa yang mengguncang Yogyakarta saat itu membuat bangunan tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.

Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu. Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.

Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun, melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, bisa diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil.

Pasca gempa itu, bentuk asli Tugu memang telah berganti. Jadi dari nilai filosofis memang sudah tidak ada lagi Tugu asli. Yang ada hanya secara kosmologis letak titik fokus Tugu yang masih tetap dipertahankan seperti sejarah sebelumnya.

Menurutnya, bangunan Tugu asli secara sejarah budaya adalah melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan. Yakni mengarah lurus ke atas. Tugu tersebut dibangun guna melengkapi arsitektur Keraton Yogyakarta yang terdiri atas beberapa komponen seperti alun-alun, masjid, pasar, sungai dan lainnya.

"Secara fungsional, dulu Tugu diterapkan sebagai sebuah titik konsentrasi. Dan kini fungsi tersebut memang masih bisa diterapkan, hanya saja maknanya sudah tidak sedalam dulu lagi. Dimana sampai saat ini Tugu itu dipertahankan karena merupakan salah satu ikon dari Yogyakarta.


Atas dasar itu pula, untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat akan nilai filosofis dan sejarah Tugu yang asli, pemerintah propinsi DIY atas usulan dari Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X akan membangun replika Tugu asli berupa Golong Gilig di area sekitar Tugu.

Makam Raja - Raja Mataram

Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri

Pajimatan Imogiri merupakan makam raja-raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) yang terletak 17 kilometer ke arah selatan dari Kota Yogyakarta melalui Jalan Pramuka - Imogiri. Di kawasan itu bagi warga masyarakat disediakan lapangan parkir yang terletak di sebelah barat gerbang masuk sebelum naik tangga. Sedangkan bagi kerabat istana dan tamu VIP disediakan parkir di bagian atas mendekati makam sehingga tidak perlu meniti tangga. 


 Mitos setempat menyatakan bahwa barang siapa bisa menghitung jumlah tangga secara benar (jumlahnya ada 345 anak tangga) maka cita-citanya akan terkabul. Tata cara memasuki makam di tempat itu sama dengan di Astana Kotagede, dimana setiap pengunjung diharuskan memakai pakaian tradisonil Mataram, pria harus mengenakan pakaian peranakan berupa beskap berwarna hitam atau biru tua bergaris-garis, tanpa memakai keris, atau hanya memakai kain/jarit tanpa baju. Sedangkan bagi wanita harus mengenakan kemben.

Perlu diketahui bahwa selama berziarah pengunjung tidak diperkenankan memakai perhiasan. Bagi para peziarah yang tidak mempersiapkan pakaian dimaksud dari rumah bisa menyewa pada abdi dalem sebelum memasuki komplek makam. Bagi kerabat istana khususnya putra-putri raja ada peraturan tersendiri, pria memakai beskap tanpa keris, puteri dewasa mengenakan kebaya dengan ukel tekuk, sedangkan puteri yang masih kecil memakai sabuk wolo ukel konde.

Menurut buku Riwayat Pasarean Imogiri Mataram, Makam Imogiri memang sejak awal telah disiapkan oleh Sultan Agung dengan susah payah. Diceritakan Sultan Agung yang sakti itu setiap Jumat sholat di Mekkah, dan akhirnya ia merasa tertarik untuk dimakamkan di Mekkah. Namun karena berbagai alasan keinginan tersebut ditolak dengan halus oleh Pejabat Agama di Mekkah, sebagai gantinya ia memperoleh segenggam pasir dari Mekkah. Sultan Agung disarankan untuk melempar pasir tersebut ke tanah Jawa, dimana pasir itu jatuh maka di tempat itulah yang akan menjadi makam Sultan Agung. Pasir tersebut jatuh di Giriloyo, tetapi di sana Pamannya, Gusti Pangeran Juminah (Sultan Cirebon) telah menunggu dan meminta untuk dimakamkan di tempat itu. Sultan Agung marah dan meminta Sultan Cirebon untuk segera meninggal, maka wafatlah ia. Selanjutnya pasir tersebut dilemparkan kembali oleh Sultan Agung dan jatuh di Pegunungan Merak yang kini menjadi makam Imogiri.

Tempat pemakaman masih dibagi lagi menjadi tiga bagian,yaitu :

Makam utama, yang terdiri dari :
  • Makam Sri Paduka Sultan Prabu Hanyokrokusumo
  • Makam Amangkurat II
  • Makam Amangkurat III 
  • Makam masing-masing satu permaisurinya. 
Sayap kiri terdiri dari :
  1. Makam Pakubuwono I
  2. Makam Amangkurat Jawi
  3. Makam Pakubuwono III
Sayap kanan terdiri dari: 
  1. Makam Ratu-ratu Solo
  2. Makam Pakubuwono III beserta selir dan permaisurinya. 

Berikut ini daftar Raja-raja Mataram beserta Keluarganya yang dimakamkan di Pemakaman Imogiri:
  1. Sultan Agung Hanyakrakusuma
  2. Sri Ratu Batang, Amangkurat Amral
  3. Amangkurat Mas
  4. Paku Buwana I
  5. Amangkurat Jawi
  6. Paku Buwana II
  7. Paku Buwana III
  8. Paku Buwana IV
  9. Paku Buwana V
  10. Paku Buwana VI
  11. Paku Buwana VII
  12. Paku Buwana VIII
  13. Paku Buwana IX
  14. Paku Buwana X     
  15. Paku Buwana XI. 

Sedangkan dari Kasultanan Yogyakarta antara lain : 
  1. Hamengku Buwana I
  2. Hamengku Buwana III
  3. Hamengku Buwana IV
  4. Hamengku Buwana V
  5. Hamengku Buwana VI
  6. Hamengku Buwana VII
  7. Hamengku Buwana VIII
  8. Hamengku Buwana IX

(Lihat: Skema Makam Raja-raja Mataram di Imogiri). 
 

 Berikut ini sekilas gambaran sekitar Makam Imogiri :






Sumber : http://www.tembi.org/
              Wikipedia

Pangeran Diponegoro (Putra Sultan Hamengku Buwono III)


Pangeran Diponegoro

Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda. 

Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan 'Gerebeg Maulid". 
Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.
Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo.
Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan.
Pertempuran pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko.
Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo.
Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos.
Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga.
Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829. 
Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam."
De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.
 Lukisan yang menggambarkan suasana penyerahan P. Diponegoro
Pergolakan rakyat pimpinan Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak Belanda -baik warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial. Hal demikian mendorong Belanda untuk memaksakan program tanam paksa yang melahirkan banyak pemberontakan baru dari kalangan ulama. Di Jawa, para pengikut Diponegoro seperti Pangeran Ario Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara terbatas.

Keterangan Lain :
PANGERAN DIPONEGORO ( 11 November 1785 - 8 Januari 1855).
Panglima tertinggi dalam Perang Diponegoro (1825-1830) yang dalam buku-buku sejarah karangan penulis Belanda disebut Java Oorlog (=Perang Jawa).
Nama kecilnya Ontowiryo, putra sulung Sultan Hamengku Buwono III. Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan berdiri di pihak rakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan HB V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi HB V yang berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian itu tidak disetujui Diponegoro.
Dalam perkembangan selanjutnya Belanda berusaha menangkap Diponegoro dan meletus Perang Diponegoro pada tanggal 20 Juli 1825.
28 Maret 1830 P. Diponegoro menemui Jenderal De Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Ungaran, kemudian ke Semarang, dan langsung ke Jakarta.
8 April 1830 sampai di Jakarta dan ditawan di Stadhuis.
3 Mei 1830 diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Melayu Makassar

Sumber : http://heritageofjava.com/
               http://http://id.wikipedia.org/