Situs Makam Ki Ageng Giring ( Situs Mataram Islam )

 


Situs Makam Ki Ageng Giring
Makam Ki Ageng Giring III merupakan makam pepunden Mataram yang diyakini oleh sementara masyarakat sebagai penerima wahyu Karaton Mataram. Makam kuna itu terletak di Desa Sada, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul, atau sekitar 6 kilometer ke arah barat daya dari kota Wanasari. 

Menurut Mas Ngabehi Surakso Fajarudin yang menjabat jurukunci makam Giring, disebutkan bahwa Ki Ageng Giring adalah salah seorang keturunan Brawijaya IV dari Retna Mundri, yang hidup pada abad XVI. Dari perkawinannya dengan Nyi Talang Warih melahirkan dua orang anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng Wanakusuma yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV. 

Pencarian wahyu Keraton Mataram itu konon atas petunjuk Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Giring disuruh menanam sepet (sabut kelapa kering), yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang menghasilkan degan (buah kelapa muda). Sedangkan Ki Ageng Pemanahan melakukan tirakat di Kembang Semampir (Kembang Lampir), Panggang, Gunung Kidul. 

Menurut wisik 'bisikan gaib' yang didapat, air degan milik Ki Ageng Giring itu harus diminum saendhegan (sekaligus habis) agar kelak dapat menurunkan raja. Oleh karenanya Ki Ageng Giring berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu agar kehausan sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan tersebut dengan sekali minum (saendhegan). Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, Ki Ageng Pemanahan yang baru pulang dari bertapa di Kembang Lampir singgah di rumahnya, dalam keadaan haus ia meminum air kelapa muda itu sampai habis dengan sekali minum.

Betapa kecewa dan masygulnya perasaan Ki Ageng Giring melihat kenyataan itu sehingga dia hanya bisa pasrah, namun ia menyampaikan maksud kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak turunnya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram. Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ke tujuh. 

Versi lain menyebutkan bahwa Ki Ageng Giring ketika tirakat memperoleh Wahyu Mataram di Kali Gowang. Istilah gowang konon berasal dari suasana batin yang kecewa (gowang) karena gagal meminum air degan oleh karena telah kedahuluan Ki Ageng Pemanahan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kesempatan menjadi raja Mataram pupus sudah, tinggal harapan panjang yang barangkali bisa dinikmati pada generasi ke tujuh.

Hal itu berarti setelah keturunan Ki Ageng Pemanahan yang ke-6, atau menginjak yang ke-7, ada kemungkinan bagi keturunan Ki Ageng Giring untuk menjadi raja. Apakah Pangeran Puger menjadi raja setelah 6 keturunan dari Pemanahan ? Kita lihat silsilah di bawah ini.

 

Puger menjadi raja Mataram setelah mengalahkan Amangkurat III. Jika angka 6 dianggap perhitungan kurang wajar, yang wajar adalah 7, maka dapat dihitung Raden Mas Martapura yang bertahta sekejap sebelum tahtanya diserahkan ke Raden Mas Rangsang (Sultan Agung). Jadi pergantian keluarga berlangsung setelah 7 raja keturunan Ki Ageng Pemanahan.

Bukti bahwa Puger memang keturunan Giring dapat dilihat dalam Babad Nitik Sultan Agung. Babad ini menceritakan bahwa pada suatu ketika parameswari Amangkurat I, Ratu Labuhan, melahirkan seorang bayi yang cacat. Bersamaan dengan itu isteri Pangeran Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang merupakan keturunan Giring, melahirkan seorang bayi yang sehat dan tampan. Amangkurat mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang pendeta yang sakti dan dapat menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya bayi anak Wiramanggala-lah yang dikembalikan ke Amangkurat I (ditukar) dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil. 

Sudah ditakdirkan bahwa Amangkurat III, putera pengganti Amangkuat II berwatak dan bernasib jelek Terbukalah jalan bagi Pangran Puger untuk merebut tahta. Sumber lain menceritakan silsilah Puger sebagai berikut:

Dengan demikian, benarlah bahwa pada urutan keturunan yang ke-7 keturunan Ki Ageng Giring-lah yang menjadi raja, meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Namun ini cukup menjadi dalih bahwa Puger alias Paku Buwana I adalah raja yang berdarah Giring.


PINTU GERBANG:
Inilah pintu gerbang kompleks makam Ki Ageng Giring III
di Desa Sada, Paliyan, Gunung Kidul.
Makam ini selalu ramai dikunjungi peziarah pada malam Jumat,
khususnya malam Jumat Kliwon. 


PINTU MASUK KEDUA:
Setelah para peziarah memasuki pintu gerbang,
mereka akan melewati makam para pengikut Ki Ageng Giring
yang berada di luar tembok.
Makam Ki Ageng Giring sendiri berada di dalam tembok
yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana IX.
Para peziarah dilarang memakai alas kaki jika memasuki kompleks ini.
 

BATU NISAN:
Di sinilah Ki Ageng Giring III dimakamkan.
Para peziarah dilarang mendekati batu nisan,
mereka hanya diperbolehkan berdoa di luar ruangan cungkup.
Pada umumnya para peziarah memohon agar diberi pangkat dan derajat. 


KOMPLEKS MAKAM KI AGENG SUKADANA:
Sekitar 2 kilometer arah tenggara Makam Ki Ageng Giring III
terdapat kompleks makam Ki Ageng Sukadana.
Oleh sebagian penduduk, Ki Ageng Sukadana diyakini sebagai
nama lain dari Ki Ageng Giring II atau ayah dari Ki Ageng Giring III.
Berbeda dengan makam Ki Ageng Giring III, makam ini terlihat tidak terawat.
Cungkup Ki Sukadana terletak paling ujung. 


BATU NISAN KI SUKADANA:
Sama dengan Ki Ageng Giring III, makam ini selalu ramai dikunjungi para peziarah.
Di tempat ini peziarah diperbolehkan masuk cungkup dan berdoa di sisi batu nisan.
 

SENDANG PITUTUR:
Sendang ini terdapat di utara (sekitar 3 kilometer) dari makam Ki Ageng Sukadana.
Menurut legenda penduduk setempat, sendang ini sering
dipakai mandi Ki Ageng Sukadana ketika ia masih hidup.

Sumber : http://www.tembi.org/

Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX


Sri Sultan Hamengkubuwono IX pahlawan nasional sekaligus tokoh paling berpengaruh terutama di wilayah kesultanan Yogyakarta. Dilahirkan dengan nama Bendoro Raden Mas Dorodjatun. Beliau putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan Raden Ajeng Kustilah dan lahir pada 12 April 1912 di Sompilan Ngasem, Yogyakarta.

Sebagai keturunan langsung Sultan Yogyakarta tanggal 18 Maret 1940 ia dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sanga. Ia adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Ia merupakan Sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat "Istimewa". Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adams mengenai otonomi Yogyakarta. Di masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I. Beliau juga tokoh yang sangat berperan dalam peristiwa serangan umum 1 Maret 1949. 

Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
  
Riwayat Pendidikan :
  • Taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer di Bintaran Kidul 
  • Eerste Europese Lagere School (1925)
  • Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan Bandung (1931)
  • Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi
Karir :
  • Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945)
  • Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
  • Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 - 11 November 1947 dan 11 November 1947 - 28 Januari 1948)
  • Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
  • Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
  • Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 - 6 September 1950)
  • Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951)
  • Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
  • Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
  • Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East) dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan (1957)
  • Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
  • Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
  • Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
  • Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
  • Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966)
  • Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
  • Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
  • Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
  • Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 - 23 Maret 1978)
Hamengkubuwana IX diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia tanggal 8 Juni 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.  Sultan Hamengku Buwana IX juga  tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pada 2 Oktober 1988, ia wafat di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para Raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.

Foto Sang Penjaga Demokrasi
 






Sumber : biografitokohdunia.com

Upacara Sekaten Keraton Yogyakarta

Di wilayah Kotamadya Yogyakarta, terdapat upacara adat yang disebut sebagai Sekaten atau yang lebih dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten karena sebelum upacara Sekaten diadakan kegiatan pasar malam terlebih dahulu selama satu bulan penuh. Tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Demak (abad ke-16) ini diadakan setahun sekali pada bulan Maulud, bulan ke tiga dalam tahun Jawa, dengan mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.Asal usul istilah Sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang berpendapat bahwa Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) karena orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan bahagia dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.

Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, dua kalimat dalam Syahadat Islam, yaitu syahadat taukhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang berarti “saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah” dan syahadat rasul (Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh) yang berarti “saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah”.


Upacara Sekaten dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Pada awal mula penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga, mempergunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitan-nya dengan menggunakan dua perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di sela-sela pergelaran, dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.

Di kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan ikut merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutan akan mendapat pahala dari Yang Maha Agung, dan dianugerahi awet muda. Sebagai syarat, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama perayaan, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, di Alun-alun Utara atau di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk untuk dibawa pulang.



Sebelum upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.
Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.


Sedangkan Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang.

 Sekatenan Yogyakarta Tahun 1950an
Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.

Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Di halaman Kemandungan atau Keben, banyak orang berjualan kinang dan nasi wuduk.


Lepas waktu sholat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.


Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang harinya.


Pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid Agung untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.

Sumber http://yogyanews.com/

Pathok Negara Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Sekilas Tentang Pathok Nagara (Masjid Pathok Negoro)

Pada awal berdirinya Kraton Kasultanan Yogyakarta, dikenal adanya lembaga-lembaga peradilan, misalnya pengadilan perdata, pengadilan surambi serta Bale Mangu. Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Surambi, merupakan pengadilan yang berhubungan dengan agama yang diketuai oleh seorang penghulu hakim.


Seorang penghulu hakim dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh empat orang anggota yang disebut dengan pathok nagara. Di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Kraton Ngayogyakarta sebutan pathok nagara semacam abdi dalem yang membuat tugas penghulu hakim di Pengadilan Surambi.
Saat ini, kedudukan pathok nagara mengalami perubahan. Abdi dalem pathok nagara tidak ubahnya sebagai seorang yang dijadikan panutan oleh masyarakat sekitar, di mana ia bertugas di masjid-masjid yang menjadi milik Kraton Yogyakarta

Keberadaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang ini tak lepas dari peristiwa penting di tahun 1755 adanya pembagian negara (palihan negari) Mataram Islam menjadi dua bagian, Surakarta dan Yogyakarta. Sebagai penerus Mataram yang bersifat Islam, raja Yogyakarta mendapat gelar Sultan, maka Pangeran Mangkubumi raja pertama mempunyai sebutan Sri Sultan Hamengku Buwana I (HB I), Sebutan tersebut merupakan kependekan gelar yang panjang sesuai dengan amanah seorang pemimpin negara dan keagamaan, yang sarat dengan simbol dan makna yaitu Sultan Hamengku Buwana Senapati Ingalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah. 

Sebelum menjadi Sultan, HB I telah mempunyai pengetahuan tentang bagaimana mengelola suatu ‘negara’. Pengalamannya sebagai seorang pangeran Mataram (putra Sunan Amangkurat IV), mau tidak mau harus mempelajari ilmu pengetahuan apa saja yang berguna, termasuk belajar agama, mengaji, dan sebagainya. Ini dilakukannya baik ketika di Kartasura maupun kemudian pindah ke Surakarta. Pengetahuan keagamaan demikian paling tidak telah memberi bekal ketika harus menjadi Sultan di Yogyakarta.

Pada awal Kasultanan Yogyakarta, HB I masih melestarikan kebijakan dan aturan yang dipandang sesuai dengan pemerin¬tahannya, termasuk adanya lembaga peradilan. Pada masa itu berlaku adanya lembaga-lembaga peradilan dengan nama Jawa yaitu Pengadilan Pradata (menyelesaikan perkara perdata dan pidana), Surambi (agama) dan Bale Mangu (pidana, administratif, agraria). Dalam kaitan dengan topik kali ini yang akan dikemukakan adalah Pengadilan Surambi atau dalam catatan¬catatan yang ada di kraton disebut juga Hukum Dalem Ing Surambi dan biasa disingkat Hukum Dalem. Disebut demikian karena lembaga ini menempati Serambi Masjid Agung, juga disebut al mahkamah al kabirah, yang menangani masalah-masalah perkawinan, kemelut rumah tangga, perceraian, gugatan cerai dari pihak istri terhadap suaminya, perolehan nafkah, warisan, wasiat, hibah, dan sebagainya, menurut tata cara Islam.1 Sebagai catatan di sini bahwa segala sesuatu yang dimiliki raja dan kerajaan disebut milik raja atau kagungan dalem. Demikian pula semua pegawai dan pembantu raja disebut abdi dalem.

Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Ing Surambi di Yogyakarta diketuai oleh seorang penghulu yang disebut penghulu hakim. Sebagai ketua ia memperoleh gelar dari Sultan: Kyai Pengulu. Kemungkinan yang menjadi penghulu pertama di Yogyakarta yang diserahi tanggungjawab masjid adalah Kyai Penghulu Seh Abodin.2 Dalam melaksanakan tugasnya menangani masalah-masalah yang ada di masyarakat, penghulu hakim dibantu oleh empat orang anggota disebut pathok nagara atau dalam bahasa halus pathok nagari. Baik penghulu hakim maupun pathok nagara termasuk abdi dalem. Dalam perkembangan selanjutnya susunan keanggotaan ini ditambah adanya beberapa khotib yang bertugas memberi khotbah di beberapa masjid pada hari Jumat. Adapun kitab hukum yang dipakai sebagai acuan di samping Al Quran dan Hadits adalah kitab¬kitab fiqih yaitu Kitab Muharrar, Mahali, Tuhpah (baca: Tuhfah), Patakulmungin (Fat¬hulmu’in) dan Patakulwahab (Fat-hulwahab). Apabila benar demikian, maka tugas penghulu hakim dan anggota-anggotanya yaitu pathok nagara dengan abdi dalem di bidang hukum, keagamaan, di masyarakat sungguh tidak ringan.

Sebutan pathok nagara di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Karaton Ngayogyakarta (semacam Departemen Agama) merupakan jabatan abdi dalem di lembaga tersebut, dan tepatnya pembantu.
 

Menurut catatan arsip Kawedanan Reh Pangulon, pathok nagara merupakan jabataan (abdi dalem) rendah di suatu lembaga peradilan yang diberikan oleh raja (Sultan) kepada seseorang yang dipercaya mampu menguasai bidang hukum agama Islam atau syariah. Tidak diketahui secara pasti kenapa sebutan jabatan tersebut demikian. Penulis hanya dapat menduga bahwa hal itu berkaitan dengan keberadaannya di lembaga hukum (agama) yang berlaku di saat itu. Keberadaannya di masyarakat sebagai tokoh panutan, sebagai kepanjangan aturan raja yang memerintah negari (keprajan) Yogyakarta. Walaupun jabatan rendah, namun abdi dalem pathok nagara mempunyai peranan penting dalam pemerintahan saat itu, karena langsung berhadapan dengan masyarakat yang penuh dengan berbagai macam permasalahan. Sesuai dengan peranan dan tugasnya yang menyangkut kehidupan masyarakat kasultanan berdasarkan agama pada masa itu, maka sebagai abdi dalem pathok nagara pembantu penghulu hakim, harus membekali dirinya dengan pengetahuan agama. Ia mempunyai kewajiban mencerdaskan masyarakat di bidang kehidupan beragama dan bermasyarakat. Perlu diketahui bahwa pada masa itu masa penjajahan Belanda, sehingga raja perlu membentengi rakyatnya secara jiwani, supaya berkepribadian kuat. Untuk syiar agama Islam ini maka di berbagai daerah di wilayah didirikanlah masjid-masjid yang kemudian disebut masjid kagungan dalem yang berarti masjid milik raja atau sering disebut Masjid Sulthoni. Menurut catatan Kawedanan Pangulon Keraton Yogyakarta (1981), masjid kagungan dalem di Daerah Istimewa Yogyakarta ada 78 buah, baik di dalam kota maupun yang tersebar di daerah¬daerah Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul.

Dalam arsip kraton yang tersimpan di Perpustakaan Widyabudaya, pathok nagara abdi dalem Kawedanan Pangulon Kasultanan Yogyakarta oleh Sultan ditempatkan di Mlangi Kabupaten Sleman (barat), Plosokuning Kabupaten Sleman (utara), Dongkelan Kabupaten Bantul (selatan) dan Babadan Yogyakarta (timur). Pada masa pendudukan Balatentara Jepang (1942 – 1945), Babadan ini pernah direncanakan akan dijadikan tempat amunisi untuk keperluan perang Jepang, sehingga banyak penduduk yang pindah ke arah utara, kampung Kentungan, demikian juga masjidnya. Akan tetapi rencana tersebut tidak jadi dan penduduk kembali ke Babadan semula, masjidnya pun dibangun lagi. Di tempat-tempat ini pathok nagara yang termasuk abdi dalem Reh Kawedanan Pangulon bertanggung jawab atas kehidupan keagamaan dalam masyarakat dan kemakmuran masjid ‘milik raja’ (masjid kagungan dalem) yang ditanganinya. Walaupun jumlah masjid kagungan dalem banyak, namun hanya empat masjid itulah yang ditangani oleh pathok nagara. Dalam memakmurkan masjid, ia dibantu oleh khotib, muadzin, merbot, barjama’ah dan ulu-ulu. Tidak ada keterangan-keterangan yang pasti kenapa keempat abdi dalem pathok nagara itu ditempatkan di Mlangi, Plosokuning, Dongkelan dan Babadan. Apabila dilihat dari pusat kerajaan keempat desa itu berada di barat, utara, selatan dan timur. Di pusat kerajaan sendiri ada Masjid Agung sebagai masjid kerajaan yang berdekatan dengan bangunan kraton.

Ada kebiasaan orang Jawa, menurut imajinasinya bahwa jumlah 4 (empat) letaknya di dalam sebuah ruang, masing¬masing menempati mata angin utama yang mengelilingi suatu titik pusat. Hal ini juga terungkap dalam susunan lembaga pemerintahan, satu ada di tengah-tengah sebagai kepala ditambah 4 (empat) berada di sekelilingnya sebagai pembantu utama. Sebagai contohnya pemerintahan pada masa kerajaan Mataram-Islam, apabila raja duduk di singgasana, dihadap para pegawainya (abdi dalem) duduk membentuk lingkaran lingkaran konsentris.4 Menilik kebiasaaan orang Jawa yang ‘suka’ serba empat mengelilingi satu pusat, ada kemiripan dengan letak-letak masjid milik raja yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Bukankah mereka itu abdi yang bertugas membantu penghulu hakim sebagai ketua Pengadilan Surambi. Pertanyaan mengenai jumlah abdi dalem pathok nagara yang membantu penghulu hakim di Pengadilan Surambi hanyalah empat, kemungkinan ada kaitannya dengan konsep konsentris seperti yang ada di kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu.

Telah disebutkan bahwa abdi dalem pathok nagara bertanggungjawab terhadap masjid yang ditanganinya. Begitu eratnya antara masjid pathok nagara ini sehingga terucap oleh masyarakat masjid-masjid tadi sebagai masjid pathok nagara. Ucapan tersebut tidaklah salah, karena sebenarnya mengandung maksud masjid kagungan dalem yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Oleh karena itu tidaklah mengherankan di sekitar tempat tersebut sampai kini masih ada pesantren, tempat belajar agama Islam.

Setelah kemerdekaan keadaan menjadi berubah. Kerajaan-kerajaan yang semula mempunyai ‘kekuasaan’ (walaupun masih juga di bawah kekuasaan penjajah) dengan sendirinya masuk ke satu wadah karena telah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasultanan Yogyakarta juga Kadipaten Pakualaman meleburkan daerahnya ke wilayah Republik Indonesia. Walaupun Republik Indonesia baru berdiri namun sebagai negara harus mempunyai dasar negara, Undang-Undang Dasar juga kebijakan-kebijakan lainnya. Peraturan atau undang-undang pemerintah pendudukan sedikit demi sedikit dirubah, termasuk di bidang peradilan.

Selanjutnya pada tanggal 29 agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia mengeluartkan UU No 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Raja (Zelfbestuursrecht-spraak) di Jawa dan Sumatera. Di dalamnya menyebutkan bahwa semua pengadilan raja diserahkan kepada pengadilan yang berwenang (Republik Indonesia). Dengan demikian sejak diberlakukan UU tersebut maka secara yuridis Pengadilan Surambi telah hapus. Walaupun tidak mempunyai kewenangan di lembaga peradilan, namun penghulu hakim dan pathok nagara secara adat masih tetap sebagai abdi dalem di Reh Kawedanan Pangulon. Di sini kawedanan semacam departemen dan Kawedanan Pangulon mengurusi masalah keagamaan, masalah ukhrawi. Semenjak itu pula tidak ada lagi pengangkatan abdi dalem pathok nagara, namun demikian masjidnya masih ada dan dimanfaatkan sampai sekarang.

Daftar Pustaka
Heine Gelderen, Robert. 1972. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara (terjemahan Deliar Noer). CV. Rajawali.

Nitipradja, KRT. 1941. Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana Wara, Th.1, No.2, bln. Agustus, 1941. Jogjakarta: Dwara Warta (Krapid).
Rouffaer, G.P. 1931. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D.
Poerwodarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen-Batavia: J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV.

1 KRT. Nitipradja, Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana Wara, Th.1, No.2, bln. Agustus, 1941. Dwara Warta (Krapid), Jogjakarta. hal. 66
2 G.P. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931 hlm 105
3 W.J.S. Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen- Batavia, 1939, hal. 479
4 Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara (Terjemahan Deliar Noer), CV. Rajawali, 1972, hal. 11-12
Sumber :
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 – 9605 Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Jogjakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata



Sumber http://sarjiono774.wordpress.com/2010/08/19/sekilas-tentang-pathok-nagara/

Hukum dan Peradilan Keraton Yogyakarta


Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
  • Pengadilan Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
  • Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
  • Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
  • Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. 

Akhirnya Pengadilan Pradoto dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.

Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.

Sumber Wikipedia

Sistem Pemerintahan dan Politik Keraton Yogyakarta

Koridor di depan Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno


Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.

Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:
(1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan
(2) Kanayakan Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
(3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
(4) Kanayakan Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
Kementerian urusan luar adalah
(5) Kanayakan Siti Sewu, dan
(6) Kanayakan Bumijo,
yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
(7) Kanayakan Panumping, dan
(8) Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya mengurusi pertahanan.
 
Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.

Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.

Setidaknya sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC. VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal. hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka 

Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem Residen
 
Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninkrijk der Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen. Selain itu pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan ditahtakan. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX
 
Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik Sultan ditahtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.

Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) naik tahta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Sultan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan. melakukan restorasi (bandingkan dengan 

Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan. 

Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Republik, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern.

Sumber Wikipedia

Penduduk Yogyakarta pada Masa Awal Keraton Yogyakarta


Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.

Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.

Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu :
  1. Pegawai Keraton 
  2. Pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon
  3.  Pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. 
 Kegiatan penduduk di sekitar pasar ngasem

Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.

Sumber Wikipedia

Wilayah Keraton Yogyakarta Setelah Perjanjian Giyanti


Setelah terjadinya Perjanjian Giyanti, yang berarti terpecahnya  Kerajaan Mataram menjadi dua, maka wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu : 
  1. Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota)
  2. Nagara Agung (wilayah utama)
  3. Manca Nagara (wilayah luar)
Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).


  • Nagari Ngayogyakarta meliputi:
    (1) Kota tua Yogyakarta (diantara Sungai Code dan Sungai Winongo)
    (2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.

  • Nagara Agung meliputi:
    (1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
    (2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
    (3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
    (4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
    (5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta/ suatu wilayah diantara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia).

Pembagian Mataram dan Manca Nagara pada  tahun 1757.
  • Manca Nagara meliputi:
    (1) Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah:
    (a) Madiun Kota,
    (b) Magetan,
    (c) Caruban, dan
    (d) Setengah Pacitan;
    (2) Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Kertosono,
    (b) Kalangbret, dan
    (c) Ngrowo (Tulung Agung);
    (3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto);
    (4) Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Jipang (Ngawen) dan
    (b) Teras Karas (Ngawen);
    (5) Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Selo atau Seselo (makam nenek moyang raja Mataram),
    (b) Warung (Kuwu-Wirosari), dan
    (c) Sebagian Grobogan.

Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan Mangku Negaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.
Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).

Sumber : wikipedia