Prajurit Kasultanan Yogyakarta


Keraton Kasultanan Yogyakarta memiliki kesatuan-kesatuan prajurit yang disebut bregada. Saat ini terdapat 10 bregada prajurit, yaitu : Prajurit Wirobrojo, Prajurit Dhaheng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Prawirotomo, Prajurit Ketanggung, Prajurit Mantrijero, Prajurit Nyutro, Prajurit Bugis dan Prajurit Surokarso. Setiap bregada dipimpin oleh seorang perwira berpangkat Kapten, didampingi oleh seorang perwira berpangkat Panji, yang bertugas untuk mengatur dan memerintah keseluruhan prajurit dalam bregada. Setiap Panji didampingi oleh seorang Wakil Panji. Sementara regu-regu dalam setiap bregada dipimpin oleh seorang bintara berpangkat Sersan. Keseluruhan perwira dalam semua bregada dipimpin oleh seorang Pandega. Pucuk pimpinan tertinggi keseluruhan bregada prajurit Keraton adalah seorang Manggalayudha.
 PRAJURIT WIROBOJO

Prajurit Wirobrojo selalu berada di garis terdepan dalam setiap pertempuran. Karenanya di masa kini dalam berbagai upacara adat, bregada ini selalu diposisikan di barisan paling depan. Bregada Prajurit Wirobrojo menggunakan seragam berbentuk sikepan, ikat pinggang dari kain satin dan celana panji yang semua berwarna merah, sepatu pantopel hitam dengan kaus kaki putih, serta topi berbentuk lombokan berwarna merah yang disebut Kudhup Turi. Benderanya bernama Gula Klapa, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Santri dan Kanjeng Kyai Slamet.

Senjata yang melengkapinya berupa senapan api dan tombak. Karena model seragamnya yang menyerupai lombok merah, Prajurit Wirobrojo juga disebut sebagai Prajurit Lombok Abang. Ciri nama-nama para prajurit dalam bregada ini selalu disertai dengan kata ” Brojo “.
BREGADA PRAJURIT DHAHENG  
Bregada Prajurit Dhaheng. Pengambilan nama bregada ini berkaitan dengan asal-usul para prajuritnya yang berasal dari Sulawesi. Ciri Bregada Prajurit Dhaheng adalah baju dan celana panjang putih dengan strip merah pada bagian dada dan samping celana, topi berbentuk mancungan berwarna hitam dengan hiasan bulu ayam warna merah putih. Benderanya bernama Bahning Sari, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Jatimulyo atau Doyok

Senjata yang melengkapi Bregada Prajurit Dhaheng adalah senapan api dan tombak. Ciri nama-nama para prajurit dalam bregada ini selalu disertai dengan kata “Niti”.
BREGADA PRAJURIT PATANGPULUH
Bregada Prajurit Patangpuluh. Bregada ini, bermula dari 40 orang prajurit yang pada jamannya dikenal memiliki keberanian dan ketangguhan luar biasa, yang sangat diandalkan di medan pertempuran. Prajurit Patangpuluh menggunakan seragam berbentuk sikepan dengan corak lurik khas Patangpuluh, celana pendek merah di luar celana panjang putih, rompi berwarna merah, sepatu lars hitam serta tutup kepala berbentuk songkok berwarna hitam. Benderanya bernama Cakragora, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Trisul.

Bregada Prajurit Patangpuluh dipersenjatai dengan senapan api dan tombak. Ciri nama-nama para prajurit dalam bregada ini selalu disertai dengan kata “Himo”.

BREGADA PRAJURIT JOGOKARYO
Bregada Prajurit Jogokaryo. Ciri Bregada Prajurit Jogokaryo adalah seragam berbentuk sikepan dan celana bercorak lurik khas Jogokaryo dengan rompi kuning emas, sepatu pantopel hitam dengan kaos kaki biru tua serta topi hitam bersayap. Benderanya bernama Papasan, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Trisula
Bregada Prajurit Jogokaryo dilengkapi dengan senjata berupa senapan api dan tombak. Ciri nama-nama para prajurit dalam bregada ini selalu disertai dengan kata ” Parto “.

BREGADA PRAJURIT PRAWIRATOMO
Bregada Prajurit Prawirotomo . Kisah keberadaan bregada ini berasal dari sekitar 1000 orang anggota Laskar Mataram yang membantu Pangeran Mangkubumi dalam pertempuran melawan Kompeni Belanda. Laskar ini selalu berhasil gemilang dalam setiap pertempuran, sehingga mendapatkan nama Prawirotomo. Bregada ini menggunakan seragam berbentuk sikepan berwarna hitam serta celana pendek merah diluar celana panjang putih, sepatu lars hitam serta topi hitam berbentuk kerang. Benderanya bernama Geniroga atau Bantheng Ketaton, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Trisula

Senapan api adalah senjata utama yang melengkapi Prajurit Prawirotomo. Ciri nama para prajuritnya selalu disertai dengan kata ” Prawiro “.
BREGADA PRAJURIT KETANGGUNG
Bregada Prajurit Ketanggung. Para prajurit dalam bregada ini pada jamannya bertanggung jawab atas keamanan di lingkungan Keraton, sebagai penuntut perkara, serta berkewajiban mengawal Sultan pada setiap kunjungan keluar Keraton. Seragam Bregada Prajurit Ketanggung berbentuk sikepan dengan corak lurik khas Ketanggung serta celana pendek hitam diluar celana panjang putih, sepatu lars hitam dan topi berbentuk mancungan berwarna hitam yang dihiasi dengan bulu-bulu ayam. Benderanya bernama Cakraswandana, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Nanggolo

Bregada Prajurit Ketanggung dipersenjatai dengan senapan api dengan bayonet terhunus serta tombak. Ciri nama-nama para prajuritnya selalu disertai dengan kata ” Joyo “.

BREGADA PRAJURIT MANTIREJO
Bregada Prajurit Mantrijero. Pada jamannya, Bregada Prajurit Mantrijero beranggotakan menteri-menteri di Keraton yang bertugas sebagai hakim yang memutuskan perkara. Tugasnya sebagai pengawal Sultan pada saat diselenggarakannya Upacara Jumenengan Dalem Nata di Bangsal Sitihinggil. Prajurit Mantrijero berseragam sikepan dan celana panji dengan corak lurik khas Mantrijero, sepatu model pantopel berwarna hitam dengan kaos kaki warna putih, serta topi berbentuk songkok berwarna hitam. Benderanya bernama Purnamasidi, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Cokro

Bregada Prajurit Mantrijero dilengkapi dengan senjata berupa senapan api dan tombak. Ciri nama-nama para prajuritnya selalu disertai dengan kata ” Joyo, Bahu, Prawiro atau Rono “.

BREGADA PRAJURIT NYUTRO
Bregada Prajurit Nyutro dengan ciri seragamnya yang sangat khas dan unik. Sebetulnya, bregada ini lebih bersifat sebagai prajurit klangenan, bukan sebagai prajurit perang. Ciri khas para prajurit yang menjadi anggota bregada ini adalah kewajiban memiliki ketrampilan menari atau mbeksa. Tugasnya adalah sebagai pengawal dalam upacara Garebeg dan sebagai penjaga keselamatan Sultan pada saat duduk pada singgasana di Sitihinggil. Bregada ini terbagi 2 kelompok dengan seragam yang berbeda. Kelompok pertama berseragam rompi dan celana panji berwarna hitam, kain kampuh biru tua dengan warna putih ditengahnya serta ikat kepala berbentuk udheng gilig berwarna hitam. Jika seragam kelompok pertama didominasi warna hitam, seragam kelompok kedua didominasi warna merah. Sejatinya prajurit ini tidak menggunakan alas kaki. Bendera kelompok pertama bernama Padma Sri Kresna dan Podang Ngisep Sari untuk kelompok kedua, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Trisula

Sementara ciri senjata yang melengkapi Bregada Prajurit Nyutra berupa senapan api dan tombak berikut perisai atau tameng. Ciri nama para prajuritnya mengambil nama-nama tokoh dalam pewayangan.

BREGADA PRAJURIT BUGIS
Bregada Prajurit Bugis. Sebagaimana Bregada Prajurit Dhaheng, bregada ini para anggotanya berasal dari Sulawesi. Bregada ini sehari-hari bertugas sebagai pengawal Pepatih Dalem yang berada di Kepatihan. Pada jaman Belanda, bregada ini tidak termasuk dalam kewenangan Keraton. Saat ini, Bregada Prajurit Bugis difungsikan sebagai pengawal Gunungan pada setiap upacara Garebeg. Seragam yang digunakan para Prajurit Bugis berupa baju berbentuk kurung dan celana panjang hitam, topi hitam dan dipersenjatai dengan tombak panjang

BREGADA PRAJURIT SURAKARSA
Bregada Prajurit Surakarsa yang bertugas mengawal Gunungan di bagian belakang. Dahulu, bregada ini bertugas sebagai pengawal Pangeran Adipati Anom, yaitu putera mahkota yang berada di nDalem Mangkubumen. Bregada Prajurit Surokarsa berseragam berbentuk sikepan dan celana berwarna putih, kain sapit urang, dilengkapi ikat kepala serupa blangkon berwarna hitam dan sepatu serta kaus kaki berwarna hitam. Benderanya bernama Pare Anom, dengan dwaja bernama Dapur Banyak Angrem. dipersenjatai dengan tombak panjang

Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6599990
Dipostkan http://kusumanugraha.blogspot.com/

Busana Keraton Yogyakarta


Busana atau pakaian adalah ekspresi budaya Pakaian dengan berbagai lambang simboliknya mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai budaya masyarakat pemakainya. Demikian pula bagi masyarakat Jawa lebih-lebih kalangan kraton atau bangsawan.

Kebudayaan Jawa (kraton) mengalami perkembangan pesat dalam segi etika, estetika maupun filsafat sepanjang abad ke 18. Perkembangan ini bersamaan dengan kemunduran di bidang politik akibat campur tangan Belanda terhadap berbagai urusan di kerajaan khususnya ekonomi dan militer. Belanda selalu berusaha dengan berbagai cara untk memperoleh keuntungan. Puncak campur tangan tersebut adalah pecahnya kerajaan menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Secara politis kasultanan ada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda tetapi secara kultural tetap dapat mengembangkan berbagai hal yang dapat menjaga prestise dan kewibawaan. Melalui pakaian konsep kewibawaan itu dibangun kembali dengan dihadirkannya berbagai larangan pemakaian terhadap kain dan busana tertentu beserta kelengkapannya. Artinya tidak sembarang orang boleh memakainya.

Secara keseluruhan penampilan busana yang megah dan mewah dalam suatu upacara ritual juga merupakan jaminan legitimasi power dari pemakainya Di sini terlihat bahwa penyajian busana adat kraton tidak dapat dipisahkan dari posisi dan kedudukan pemakainya. Oleh karena itu orang yang berderajat sama harus memperhitungkan jauh dekatnya hubungan dengan raja. Misalnya sama-sama putra raja yang satu lahir dari permaisuri satunya lahir dari garwa ampeyan (selir).

Beberapa corak kain tidak diijinkan dipergunakan oleh mereka yang tidak memiliki hubungan darah dengan raja. Bahkan ada yang khusus dirancang untuk pribadi sultan. Misal batik motif kawung dan motif huk pada masa Hamengku Buwana VII. Motif huk tergolong motif non geometris yang terdiri motif kerang (lambang dari air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati), binatang, (gambaran watak sentosa dan pemberi kemakmuran) cakra, burung, sawat (ungkapan ketabahan hati) dan garuda. Oleh karena itu seorang pemimpin atau raja diharapkan berbudi luhur dapat memberi kemakmuran pada rakyat dan selalu tabah menjalankan roda pemerintahan. Pada masa Hamenku Buwana VIII corak parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Tiga motif batik lain yang menjadi standar istana adalah coak semen (dari kata semi yang artinya tumbuh), sawat (pemakainya diharapkan memperoleh kemakmuran, kewibawaan dan perlindungan), udan riris/udan liris (artinya hujan gerimis, pengharapan agar selamat, sejahtera, tabah dan dapat menjalankan kewajiban dengan baik).

Secara garis besar busana sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni busana untuk sehari-hari atau non formal dan busana untuk kegiatan formal atau resmi. Busana resmi terbagi dua yaitu untuk upacara alit dan upacara ageng. Upacara alit misalnya tetesan (khitan untuk anak perempun), tarapan (haid pertama kali) dan tingalan dalem padintenan (peringatan penobatan raja berdasarkan perhitungan hari dan pasaran Jawa misal Selasa Kliwon). Upacara ageng misalnya supitan (khitan), perkawinan kerabat kraton, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, Agustusan dan sedan (pemakaman jenazah raja).

Busana sehari-hari putri sultan yang masih kecil adalah sabukwala yang terdiri tiga macam yaitu sabukwala nyamping batik untuk busana sehari-hari dan upacara alit, sabukwala nyamping praos untuk resepsi tetesan yang bersamaan supitan dan sabukwala nyamping cindhe untuk upacara garebeg dan tetesan tidak bersamaan dengan supitan. Untuk putra laki-laki mengenakan busana kencongan, baju surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok/timang dari suwasa (emas berkadar rendah).

Untuk putri sultan praremaja atau peralihan dari anak-anak ke remaja (biasanya berusia 11 sampai 14 tahun) mengenakan busana pinjungan. Busana ini dikenakan dengan cara melipat ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga sebagai hiasan penutup dada. Busana pinjungan dibedakan menjadi pinjung harian, pinjung bepergian, pinjung upacara alit dan pinjung untuk upacara garebeg.

Untuk remaja dan dewasa dalam keseharian mengenakan busana semekanan (dari kata semekan berupa kain panjang dengan lebar separo dari lebar kain biasa berfungsi sebagai penutup dada). Untuk remaja atau putri yang belum menikah semekan polos tanpa tengahan tanpa hiasan kain sutra di tengahnya. Bagi yang sudah menikah semekan tritik dengan tengahan.

Bagi pria remaja atau dewasa dalam kesehariannya mengenakan baju surjan, kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, destar sebagai penutup kepala.


Busana untuk upacara ageng adalah busana keprabon khusus untuk putra sultan. Jenis busana keprabon untuk pria terdiri dari busana dodotan, busana kanigaran dan busana kaprajuritan.

Berbagai ragam busana adat dengan perlengkapan-perlengkapannya tersebut ternyata tidak hanya sekedar untuk menunjukkan status kebangsawanan, kemegahan dan kemewahan tetapi juga mengandung makna simbolis. Misalnya sangsangan sungsun (kalung bersusun) merupakan perlambang tiga tingkatan kehidupan manusia dari lahir, menikah dan mati yang dihubungkan dengan konsepsi Jawa tentang alam baka, alam antara dan alam fana. Binggel kana (gelang) berbentuk melingkar tanpa ujung pangkal bermakna lambang keabadiaan, Bentuk gunungan (meru) pada pethat (sisir) melambangkan keagungan Tuhan dan harapan terciptanya kebahagiaan. Hiasan sanggul berupa ceplok dengan jenehan terdiri tiga warna merah, hijau dan kuning (biasa dikenakan untuk pengantin putri) merupakan lambang Trimurti, tiga dewa pemberi kehidupan.

Adanya interaksi dan komunikasi dengan orang luar (terutama Belanda) membawa pengaruh pula terhadap perkembangan busana. Misalnya pemakaian topi, anggar (tempat keris), kaos kaki dalam busana kaprajuritan. Akseroris yang lain misal rante karset, jam saku, timang (kretep), rimong pada busana pesiar, bulu burung, kipas, bros, dan lain-lain.


Sumber http://www.enformasi.com/
Dipostkan kembali oleh http://kusumanugraha.blogspot.com/

Gunung merapi meletus

Merapi Kembali Muntahkan Awan Panas





Selasa, 02 November 2010 - 14:50 wib
Sepanjang Senin (2/11/2010) ini awan panas Gunung Merapi terus meluncur. Luncuran jelas dari pos pengamatan di Deles Klaten, Jawa Tengah. Namun jarak luncuran awan panas atau wedhus gembel dari kawah Gunung Merapi sangat pendek dan tidak terlalu membahayakan. (Sumber diambil dari : www.okezone.com)