Tribulasi Takhta Kesultanan Mataram 1587-1757
by Erwin Kusuma
Kesultanan Mataram didirikan oleh Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati pada tahun 1587. Sutawijaya sendiri memerintah hingga tahun 1601. Daerah kekuasaan kerajaan Mataram Islam ini mewarisi daerah kekuasaan Pajang yaitu sekitar Jawa Tengah.
Sesudah Sutawijaya meninggal kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati. Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak.
Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.
Mas Rangsang atau yang dikenal sebagai Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613. Pada masanya kekuasaan Mataram meluas hingga ke Jawa Timur dan Madura, bahkan Kesultanan Cirebon secara teratur memberikan upeti kepada Sultan Agung. Praktis pada tahun 1628 Mataram berkuasa hampir di seluruh Pulau Jawa kecuali Banten.
Pada tahun 1646, Sultan Agung wafat, kemudian ia digantikan oleh putranya, Amangkurat I. Di masanya, Amangkurat I terkenal sebagai salah satu Raja Jawa yang kejam. Pada waktu penobatannya ia melakukan tindakan membantai 3000 orang yang diperkirakan akan memberontak kepada dirinya. Kekejamannya membawa pemberontakkan Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo.
Tahun 1677, Amangkurat I wafat, ia digantikan oleh putranya Amangkurat II dan pada saat itu pemberontakkan Trunojoyo belum berakhir. Lalu ia meminta bantuan VOC untuk mengatasi masalah tersebut. VOC bersedia membuat perjanjian dengan Amangkurat II dengan kompensasi Amangkurat II harus menggati seluruh biaya perang, daerah VOC diperluas ke selatan hingga ke Samudera Hindia termasuk Semarang dan daerah sekitarnya harus diserahkan ke VOC. Pemberontakkan Trunojoyo pun akhirnya dapat dipadami.
Permasalahan lain yang timbul adalah Pangeran Puger, kakak dari Amangkurat II, juga mengklaim takhta Mataram dengan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sultan Mataram. Namun atas bantuan VOC Amangkurat II dengan Pangeran Puger berdamai. Pada masa ini ibukota Mataram pindah ke Kartasura.
Ketika Amangkurat II wafat pada tahun 1703 ia digantikan oleh Amangkurat III. Namun demikian Amangkurat III adalah seorang yang pendendam, ia dendam dengan Pangeran Puger yang telah mengkhianati ayahnya. Setelah penobatannya Amangkurat III melakukan penangkapan terhadap Pangeran Puger dan anak-anaknya, tetapi usahanya gagal. Keluarga Pangeran Puger dan anak-anaknya melarikan diri ke Semarang dan Banyumas.
Di Semarang Pangeran Puger bersekutu dengan VOC yang melindunginya akibat perjanjian yang dibuat tahun 1681, yaitu jika Pangeran Puger mengakui kedaulatan Mataram maka VOC akan melindunginya. Setelah menyusun kekuatannya Pangeran Puger dan VOC menyerang Kartasura. Tahun 1705 Kartasura jatuh ke tangan Pangeran Puger dan kemudian ia diangkat menjadi Raja Mataram dengan gelar Pakubuwono I.
Amangkurat III yang sempat melarikan diri keluar Kartasura akhirnya menyerah dan kemudian ia beserta keluarganya dibuang ke Srilangka.
Pakubuwono I wafat pada tahun 1719, kemudian ia digantikan oleh putra tertuanya Mangku Bumi dengan gelar Amangkurat IV. Ia memerintah tidak terlalu lama, pada tahun 1727 ia wafat dan digantikan oleh putranya yang baru berusia 16 tahun dan diberi gelar sebagai Pakubuwono II.
Di masa Pakubuwono II terjadi pembunuhan masal orang Cina oleh VOC akibat permasalahan migrasi orang-orang Cina ke Pulau Jawa khususnya di Batavia (peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama “Geger Pecinan”). Patih Natakusuma, salah seorang patih Kerajaan Mataram, diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan Cina, yaitu jika Cina berhasil mengalahkan VOC maka Cina akan mendapatkan seluruh pesisir utara Jawa dan keuntungannya.
Pakubuwono sendiri pun menghadapi situasi yang dilematis. Tahun 1741, ketika rakyatnya banyak yang memihak Cina, ia terikat perjanjian tidak tertulis dengan Batavia dalam memberantas huru-hara kaum Cina tersebut. Namun demikian suaranya tidak terlalu kuat berhadapan sebagian besar bangsawan yang menginginkan pertempuran dengan VOC.
Akhirnya pasukan Mataram bekerjasama dengan orang-orang Cina yang ingin balas dendam atas kejadian pembunuhan masal bergerak ke utara menyerang Semarang. Tercatat 20.000 pasukan Mataram ditambah 3.500 pasukan Cina terlibat dalam pertempuran tersebut.
Serangan ke Semarang gagal dan Pakubuwono II pun meminta maaf atas serangan tersebut ke VOC. Tetapi permintaan maaf Sultan dianggap oleh rakyat Kartasura sebagai pengkhianatan yang kemudian menyebabkan mereka melakukan kerusuhan dan pembakaran-pembakaran di Kartasura. Pakubuwono II pun akhirnya mundur ke Surakarta.
Sisa-sisa pendukung pemberontakan Cina yang masih tersisa adalah Raden Mas Said putra Arya Mangkunegara (Arya Mangkunegara kakak Pakubuwono II dari lain Ibu). Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah Sokawati untuk siapa saja yang berhasil merebut daerah itu dari tangan Mas Said.
Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II memenangkan sayembara itu tahun 1746. Ia dulu juga ikut mendukung pemberontakan Cina, namun kembali ke istana dan diterima Pakubuwana II. Saingan politiknya, yaitu Patih Pringgalaya membujuk raja supaya tidak menyerahkan hadiah sayembara tersebut.
Muncul pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta mendesak Pakubuwana II agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real tiap tahun. Pangeran Mangkubumi menentang hal itu. Terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Pangeran Mangkubumi sakit hati dan meninggalkan Surakarta untuk bergabung dengan Mas Said sejak Mei 1746. Mereka berdua mengambil Yogyakarta sebagai basis pemberontakkan mereka.
Tahun 1749 Pakubuwono II jatuh sakit, kemudian ia meminta Gubernur Semarang von Hohendorf untuk datang ke Surakarta. Kepada von Hohendorf, Pakubuwono II meminta VOC-lah yang menentukan nasib Mataram kemudian. Ia meninggal dunia pada bulan Desember 1749, kedudukannya kemudian digantikan oleh putranya setelah diatur oleh VOC agar tidak timbul kekacauan. Dan ia dinobatkan menjadi Pakubuwono III.
Namun demikian keesokkan harinya setelah VOC mengangkat putra Pakubowo II menjadi Pakubuwono III, Mangkubumi pun menobatkan dirinya sebagai Pakubuwono III. Sehingga ada dua Pakubuwono III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.
Perang untuk memadamkan pemberontakkan Mangkubumi kembali berlanjut. Terjadi pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Dan semenjak itu Mangkubumi dianggap sebagai pahlawan Mataram dan kemudian ia didukung oleh sebagian besar bangsawan dan masyarakat Mataram.
Akibat perang perebutan takhta Mataram yang melibatkan VOC yang tak kunjung selesai, Gubernur Jenderal Mossel mengangkat Hartingh sebagai Gubernur Semarang menggantikan van Hohendorf yang ditugasi untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan perundingan.
Perundingan alot dengan Hartingh akhirnya mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir yang disewa VOC seharga 20.000 real.
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti (Giyanti adalah nama desa di sebelah timur Surakarta) yang mengakui kedaulatan Mangkubumi yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.
Akibat perjanjian itu Mas Said (yang terkenal dengan sebutan “Pangeran Sambernyowo”) merasa dilangkahi dan dikhianati oleh Mangkubumi maka kemudian ia terus melakukan pemberontakan dan pertempuran di daerah-daerah Mataram hingga Gunung Kidul.
Namun pada tahun 1757 karena jumlah pasukan dan perbekalannya yang menipis serta motivasi yang sudah jatuh ia menyerah namun dengan syarat ia meminta beberapa daerah yang menjadi haknya. Gubernur Hartingh yang sudah jenuh dengan pertempuran membujuk Pakubuwono III untuk menerima Mas Said.
Mas Said kemudian datang ke Salatiga dan berjanji akan setia kepada Pakubuwono III dan VOC. Dari perdamaian itu ia mendapatkan tanah sewa di selatan Surakarta, yaitu Wonogiri dan sekitarnya. Kemudian ia menamakan daerahnya sebagai Mangkunegaraan dan ia sendiri dinobatkan sebagai Adipati Aryo Mangkunegoro I.
Sesudah Sutawijaya meninggal kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati. Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak.
Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.
Mas Rangsang atau yang dikenal sebagai Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613. Pada masanya kekuasaan Mataram meluas hingga ke Jawa Timur dan Madura, bahkan Kesultanan Cirebon secara teratur memberikan upeti kepada Sultan Agung. Praktis pada tahun 1628 Mataram berkuasa hampir di seluruh Pulau Jawa kecuali Banten.
Pada tahun 1646, Sultan Agung wafat, kemudian ia digantikan oleh putranya, Amangkurat I. Di masanya, Amangkurat I terkenal sebagai salah satu Raja Jawa yang kejam. Pada waktu penobatannya ia melakukan tindakan membantai 3000 orang yang diperkirakan akan memberontak kepada dirinya. Kekejamannya membawa pemberontakkan Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo.
Tahun 1677, Amangkurat I wafat, ia digantikan oleh putranya Amangkurat II dan pada saat itu pemberontakkan Trunojoyo belum berakhir. Lalu ia meminta bantuan VOC untuk mengatasi masalah tersebut. VOC bersedia membuat perjanjian dengan Amangkurat II dengan kompensasi Amangkurat II harus menggati seluruh biaya perang, daerah VOC diperluas ke selatan hingga ke Samudera Hindia termasuk Semarang dan daerah sekitarnya harus diserahkan ke VOC. Pemberontakkan Trunojoyo pun akhirnya dapat dipadami.
Permasalahan lain yang timbul adalah Pangeran Puger, kakak dari Amangkurat II, juga mengklaim takhta Mataram dengan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sultan Mataram. Namun atas bantuan VOC Amangkurat II dengan Pangeran Puger berdamai. Pada masa ini ibukota Mataram pindah ke Kartasura.
Ketika Amangkurat II wafat pada tahun 1703 ia digantikan oleh Amangkurat III. Namun demikian Amangkurat III adalah seorang yang pendendam, ia dendam dengan Pangeran Puger yang telah mengkhianati ayahnya. Setelah penobatannya Amangkurat III melakukan penangkapan terhadap Pangeran Puger dan anak-anaknya, tetapi usahanya gagal. Keluarga Pangeran Puger dan anak-anaknya melarikan diri ke Semarang dan Banyumas.
Di Semarang Pangeran Puger bersekutu dengan VOC yang melindunginya akibat perjanjian yang dibuat tahun 1681, yaitu jika Pangeran Puger mengakui kedaulatan Mataram maka VOC akan melindunginya. Setelah menyusun kekuatannya Pangeran Puger dan VOC menyerang Kartasura. Tahun 1705 Kartasura jatuh ke tangan Pangeran Puger dan kemudian ia diangkat menjadi Raja Mataram dengan gelar Pakubuwono I.
Amangkurat III yang sempat melarikan diri keluar Kartasura akhirnya menyerah dan kemudian ia beserta keluarganya dibuang ke Srilangka.
Pakubuwono I wafat pada tahun 1719, kemudian ia digantikan oleh putra tertuanya Mangku Bumi dengan gelar Amangkurat IV. Ia memerintah tidak terlalu lama, pada tahun 1727 ia wafat dan digantikan oleh putranya yang baru berusia 16 tahun dan diberi gelar sebagai Pakubuwono II.
Di masa Pakubuwono II terjadi pembunuhan masal orang Cina oleh VOC akibat permasalahan migrasi orang-orang Cina ke Pulau Jawa khususnya di Batavia (peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama “Geger Pecinan”). Patih Natakusuma, salah seorang patih Kerajaan Mataram, diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan Cina, yaitu jika Cina berhasil mengalahkan VOC maka Cina akan mendapatkan seluruh pesisir utara Jawa dan keuntungannya.
Pakubuwono sendiri pun menghadapi situasi yang dilematis. Tahun 1741, ketika rakyatnya banyak yang memihak Cina, ia terikat perjanjian tidak tertulis dengan Batavia dalam memberantas huru-hara kaum Cina tersebut. Namun demikian suaranya tidak terlalu kuat berhadapan sebagian besar bangsawan yang menginginkan pertempuran dengan VOC.
Akhirnya pasukan Mataram bekerjasama dengan orang-orang Cina yang ingin balas dendam atas kejadian pembunuhan masal bergerak ke utara menyerang Semarang. Tercatat 20.000 pasukan Mataram ditambah 3.500 pasukan Cina terlibat dalam pertempuran tersebut.
Serangan ke Semarang gagal dan Pakubuwono II pun meminta maaf atas serangan tersebut ke VOC. Tetapi permintaan maaf Sultan dianggap oleh rakyat Kartasura sebagai pengkhianatan yang kemudian menyebabkan mereka melakukan kerusuhan dan pembakaran-pembakaran di Kartasura. Pakubuwono II pun akhirnya mundur ke Surakarta.
Sisa-sisa pendukung pemberontakan Cina yang masih tersisa adalah Raden Mas Said putra Arya Mangkunegara (Arya Mangkunegara kakak Pakubuwono II dari lain Ibu). Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah Sokawati untuk siapa saja yang berhasil merebut daerah itu dari tangan Mas Said.
Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II memenangkan sayembara itu tahun 1746. Ia dulu juga ikut mendukung pemberontakan Cina, namun kembali ke istana dan diterima Pakubuwana II. Saingan politiknya, yaitu Patih Pringgalaya membujuk raja supaya tidak menyerahkan hadiah sayembara tersebut.
Muncul pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta mendesak Pakubuwana II agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real tiap tahun. Pangeran Mangkubumi menentang hal itu. Terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Pangeran Mangkubumi sakit hati dan meninggalkan Surakarta untuk bergabung dengan Mas Said sejak Mei 1746. Mereka berdua mengambil Yogyakarta sebagai basis pemberontakkan mereka.
Tahun 1749 Pakubuwono II jatuh sakit, kemudian ia meminta Gubernur Semarang von Hohendorf untuk datang ke Surakarta. Kepada von Hohendorf, Pakubuwono II meminta VOC-lah yang menentukan nasib Mataram kemudian. Ia meninggal dunia pada bulan Desember 1749, kedudukannya kemudian digantikan oleh putranya setelah diatur oleh VOC agar tidak timbul kekacauan. Dan ia dinobatkan menjadi Pakubuwono III.
Namun demikian keesokkan harinya setelah VOC mengangkat putra Pakubowo II menjadi Pakubuwono III, Mangkubumi pun menobatkan dirinya sebagai Pakubuwono III. Sehingga ada dua Pakubuwono III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.
Perang untuk memadamkan pemberontakkan Mangkubumi kembali berlanjut. Terjadi pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Dan semenjak itu Mangkubumi dianggap sebagai pahlawan Mataram dan kemudian ia didukung oleh sebagian besar bangsawan dan masyarakat Mataram.
Akibat perang perebutan takhta Mataram yang melibatkan VOC yang tak kunjung selesai, Gubernur Jenderal Mossel mengangkat Hartingh sebagai Gubernur Semarang menggantikan van Hohendorf yang ditugasi untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan perundingan.
Perundingan alot dengan Hartingh akhirnya mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir yang disewa VOC seharga 20.000 real.
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti (Giyanti adalah nama desa di sebelah timur Surakarta) yang mengakui kedaulatan Mangkubumi yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.
Akibat perjanjian itu Mas Said (yang terkenal dengan sebutan “Pangeran Sambernyowo”) merasa dilangkahi dan dikhianati oleh Mangkubumi maka kemudian ia terus melakukan pemberontakan dan pertempuran di daerah-daerah Mataram hingga Gunung Kidul.
Namun pada tahun 1757 karena jumlah pasukan dan perbekalannya yang menipis serta motivasi yang sudah jatuh ia menyerah namun dengan syarat ia meminta beberapa daerah yang menjadi haknya. Gubernur Hartingh yang sudah jenuh dengan pertempuran membujuk Pakubuwono III untuk menerima Mas Said.
Mas Said kemudian datang ke Salatiga dan berjanji akan setia kepada Pakubuwono III dan VOC. Dari perdamaian itu ia mendapatkan tanah sewa di selatan Surakarta, yaitu Wonogiri dan sekitarnya. Kemudian ia menamakan daerahnya sebagai Mangkunegaraan dan ia sendiri dinobatkan sebagai Adipati Aryo Mangkunegoro I.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Karena nama gelaran begitu banyak, klo boleh tanya mas mungkin memiliki cerita atau informasi ttg B.P.A Mataram nama lainnya siapa dari istri ke berapa R. Sutawijaya/Panembahan Senopati
Leave a Comment
Jangan lupa beri komentar ya..